Opini

Apakah Dunia Bisa Ideal?

Sab, 4 September 2021 | 12:45 WIB

Apakah Dunia Bisa Ideal?

Orang matang adalah orang yang bisa berdamai dengan kenyataan. Realistis itu perlu. Pragmatis boleh, agar bisa menikmati hidup, asal tidak hedonis. Penyakit orang idealis itu tidak realistis.

Banyak orang berpikir dunia bisa ideal. Ia berpikir seharusnya: seharusnya begini, seharusnya begitu. Begitu kenyataan tampil tidak seperti bayangannya, dia kecewa, terus marah, terus mencaci maki kenyataan.

 

Biar sampeyan tidak senewen, terus jadi Khawarij, saya mengajak berpikir sangkan paran. Begini, dunia yang dibayangkan bisa ideal itu, tetaplah dunia. Apa isi dunia? Ini kata Rasulullah:

 

إنّ الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلاّ ذكر اللّه وما والاه وعالما أو متعلما (رواه الترمذي)

 

Jadi, menurut Nabi, isi dunia ini terkutuk, kecuali dua: dzikir kepada Allah dan belajar mengajar. Dua-duanya mengantarkan orang untuk gentar kepada Allah. Orang dzikir mendekati Allah dengan sifat Jamaliyah-Nya. Orang alim mendekati Allah dengan sifat Jalaliyah-Nya.

 

Siapa yang diserahi mengurus dunia? Manusia! Siapa manusia? Allah menjelaskan, dia makhluk terbaik, dari sisi fisiknya (احسن تقويم). Tetapi manusia bisa terguling di maqam sehina-hinanya (أسفل سافلين)(QS At-Tin/95: 4-5). Ini karena manusia itu zalim dan jahil (QS Al-Ahzab/33: 72), lemah (QS An-Nisa/4: 28), kikir dan suka mengeluh (QS Al-Ma’arij/70:19-21). Manusia juga rakus. Kata Rasulullah:

 

لو كان لابن آدم واديان من مال لابتغى ثالثا، ولا يملأ جوف ابن آدم إلّا التّراب (متفق عليه)

 

“Andaikata manusia punya dua bukit harta, dia pasti minta yang ketiga. Dia tidak akan puas sampai mulutnya disumpal tanah” (HR al-Bukhari-Muslim).

 

Dunia yang isinya terkutuk dan diurus oleh manusia yang tidak ideal, terus kita minta ideal? Selagi di dunia, harapan ini tidak akan pernah terjadi. Tetapi manusia memang perlu punya harapan dan cita-cita. Itu dituangkan dalam seperangkat imajinasi, namanya ideologi. Isinya bayangan ideal yang sulit tercapai, namanya utopia. Dua hal ini sebenarnya alat manusia untuk merawat harapan. Ini perlu agar hidup manusia bertujuan, dan tidak gersang.

 

Penganut liberalisme membayangkan manusia bisa sejahtera melalui mekanisme pasar. Penganut komunisme-sosialisme membayangkan kesejahteraan bisa merata melalui instrumen pengendalian atau etatisme. Apakah ini tercapai? Dari dulu kapitalisme menimbulkan ketimpangan. Yang kaya makin kaya. Yang miskin tambah miskin. Komunisme tinggal dongeng. Sosialisme identik dengan negara tambun dan inefisien. Juga korup dan tidak siap bersaing. Penganut ekonomi pasar membela mati-matian: hanya dengan kebebasan dagang dunia bisa gemah ripah. Sebaliknya penganut ekonomi pengendalian mengutuk pasar yang tidak pernah becus mengelola keadilan. Intinya serba bolong, serba salah. Dunia tidak bisa ideal.

 

Manusia, kata Ibn Athaillah, bagusnya saja jelek, apalagi jeleknya. Ini bait menggentarkan dari munajatnya di Al-Hikam:

 

إلهي من كانت محاسنه مساوي فكيف لا تكون مساويه مساوي

 

“Tuhanku, manusia yang bagusnya saja buruk, bagaimana buruknya tidak jadi keburukan?”

 

Silakan sampeyan deret kebaikan manusia yang tidak berdimensi keburukan. Hujan bagus untuk petani, tetapi nestapa untuk pedagang es. RS yang ramai itu bagus untuk pemilik dan dokternya, tapi pertanda banyak orang yang sakit. Sampeyan bercita-cita mengasuh banyak anak yatim. Itu artinya banyak anak yang kehilangan orang tuanya. Politisi dan teknokrat merencanakan kesejahteraan. Jika semua sejahtera, manusia cenderung terlena, kemudian maksiat merajalela. Kata Allah:

 

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ (الشوري: ٢٧)

 

“Seandainya Allah luaskan rezeki hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan melampaui batas di muka bumi” (QS As-Syura/42: 27).

 

Apalah manusia, yang kebaikannya saja bergandengan dengan ketidakbaikan!  

 

Rasulullah pernah idealis. Sebagai Nabi, beliau ingin semua manusia beriman. Tapi kemudian turun ayat:

 

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ (يونس: ٩٩)

 

“Seandainya Tuhanmu menghendaki, pasti beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu (hendak) memaksa manusia, supaya mereka menjadi mukmin semuanya” (QS Yunus/10: 99).

 

Rasulullah juga pernah melaknat orang dan kaum yang mengingkari risalah Nabi. Tapi kemudian turun ayat:

 

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ (ال عمران : ١٢٨)

 

“Bukan urusanmu sedikit pun, dalam perakara mereka, apakah Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena mereka zalim” (QS Ali Imran/3: 128).

 

Idealisme dan cita-cita itu bagus. Tapi dia harus membumi dengan kenyataan. Bahasa lainnya realistis. Orang yang tidak realistis akan teralienasi. Dia terasing dari kenyataan. Dia salahkan semua orang. Lalu dia sendirian, merasa benar sendiri, jadi Khawarij, dan kesepian. Dia kecewa dan hidup di dunia antah berantah. Padahal dia masih berpijak di bumi, yang tidak ideal. Penting sekali renungan Gus Dur: “Guru spiritualitas saya adalah realitas dan guru realitas saya adalah spiritualitas.”

 

Orang matang adalah orang yang bisa berdamai dengan kenyataan. Realistis itu perlu. Pragmatis boleh, agar bisa menikmati hidup, asal tidak hedonis. Penyakit orang idealis itu tidak realistis. Ini penyakit aktivis dan akademisi. Aktivis membayangkan dunia ideal tanpa ketimpangan. Ilmuwan dan akademisi hidup di awang-awang, dengan buku dan teori. Begitu turun ke bumi, dunia tidak cocok dengan text book. Terus dia mutung. Dia salahkan pemerintah, dia kecam parpol, dia kritik ormas. Dia berdiri di menara gading, dengan daulat kebenaran. Lainnya salah. Lama-lama bermental Khawarij. Lalu dia bilang, dunia rusak. Padahal, kata Nabi, orang yang begini ini yang rusak:

 

إذا قال الرجل هلك الناس فهو أهلكهم (رواه مسلم)

 

“Jika orang berkata manusia rusak, dialah yang paling rusak” (HR Muslim).

 

Dunia tidak bisa ideal dan tidak akan ideal. Ini hanya ladang amal. Berpikirlah idealis, tetapi bertindaklah realistis. Saya ingin menutup tulisan ini dengan hikayat di Matsnawi karya Jalaluddin Rumi. Seorang bijak bestari mengkritik seorang Badui. Sang Badui menaikkan sekantong gandum di punggung unta. Lalu dia naikkan sekantong pasir di sebelahnya. ‘Biar imbang,” katanya. Sang bijak bestari berkata, “Kenapa tidak kamu bagi gandum itu ke dalam dua kantong, lalu kamu naikkan di kedua sisinya?” Sang badui berkata, “Ini ide brilian, kamu hebat.” Setelah itu badui berkata, “Sebentar, saya mau tanya, dengan ilmumu yang hebat ini, kamu pasti bukan orang sembarangan. Mungkin kamu raja atau pangeran. Atau kamu pengusaha besar dengan toko yang tersebar.” Sang bijak bestari, yang berpakaian lusuh dan tak bersandal, berkata, “Aku bukan semua itu. Bahkan aku tidak punya uang untuk membeli makan malam ini.” Sang Badui menukas, “Terus apa yang kamu punya?” Sang bijak menjawab:

 

وليس لي من هذه الحكمة والفضل والفن الا الخيال ووجع الراس

 

“Tidak ada yang aku dapatkan dari semua filsafat, kelebihan, dan kecakapan ini kecuali utopia dan sakit kepala.”

 

Sang badui murka. “Enyah kamu dari hadapanku. Aku tidak mau ketularan penyakitmu.”

 

(Jalaluddin al-Rumi, Al-Matsnawi, Buku 2, Terj. Ibrahim Dasuqi Syatta, Cairo: Majlis al-A’la li al-Tsaqafah, 1997, h. 267-68).

 

Ini sindiran keras sang sufi. Jangan terlalu idealis, nanti kamu jadi utopis. Kamu ingin membenahi dunia, padahal kamu bahkan tidak bisa mengurus dirimu sendiri. Perbaikilah dirimu agar bisa memperbaiki lingkunganmu, masyarakatmu, bangsamu, negaramu. Jangan mudah kecewa dengan dunia, karena dunia ini tidak ideal. Nikmatilah dunia sewajarnya, karena ini tempat bermain dan senda gurau. Ketika sedang menikmati dunia, saksikanlah Allah dengan hati dan akalmu. Pelan-pelan saja, santai saja, wajar saja. Ini hanya tempat transit kita sebentar. Terminal akhir kita nanti, ketika berpulang ke haribaan-Nya.

 

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU