Opini

‘Tersesat’ di Jalan yang Benar

Rab, 12 Februari 2020 | 12:30 WIB

‘Tersesat’ di Jalan yang Benar

Ilustrasi. (NU Online)

Oleh Mu’arif Rif’at Syauqi

Salah satu perintah Allah kepada manusia adalah bertebaran di bumi dan berkelana untuk membaca (iqra) agar memahami akan perbedaan dan makna kebenaran, selain itu wawasan manusia juga akan semakin luas dan tidak mudah mengklaim suatu kebenaran dan menyalahkan orang lain.

Jika di ibaratkan, kita ini seperti orang buta yang mencoba menjawab pertanyaan seperti apa gajah itu? Yang satu hanya memegang belalainya dan berkata bahwa gajah adalah seperti apa yang ia simpulkan, yang satu hanya memegang perutnya lalu berkata bahwa gajah itu sesuai dengan apa yang dia temukan.

Jika tidak mencoba berpindah ke lain tempat dan membacanya maka kita akan sama-sama mengklaim kebenaran masing-masing tentang seekor gajah dan menyalahkan satu sama lain. Namun beda halnya jika seorang buta bijaksana, awalnya meraba perutnya lalu ia mencoba bergeser ketempat lain dan memegang belalainya, gadingnya, kakinya dan anggota tubuh lainnya maka si buta bijaksana akan tersenyum dan memberi kesimpulan dengan kebijaksanaannya.

Memberi pencerahan kepada orang yang bersikukuh merasa benar terhadap pendapatnya dan menyalahkan pendapat yang lain mengenai seekor gajah yang pada kenyataannya tidak ada yang salah di antara mereka hanya saja terlalu tergesa-tergesa mengambil kesimpulan sehingga tak jarang timbulnya sebuah perpecahan.

Terkadang kita pun merasa sebagai ahli surga atau pemegang kebenaran yang mutlak, menganggap yang lain salah dan mengklaim berhak masuk surga, dengan berbagai dalil seperti hadits bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk neraka kecuali satu saja yaitu Ahlussunnah wal Jamaah, di sinilah fungsi kita untuk terus membaca dan mencari ilmu.

Karena ternyata Imam Al-Ghazali yang digelari Hujjatul Islam di dalam kitabnya faishalut tafriqoh menuliskan bahwasanya ada riwayat lain yang menyatakan bahwa semua masuk neraka kecuali satu, dari sinilah mungkin kita mengira bahwa hadisnya saling bertentangan.

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mungkin saja semua riwayatnya shahih. Cak Nur dalam buku Islam Nusantara mencoba mengompromikan terhadap kedua hadits ini “riwayat yang menyatakan bahwa satu-satunya golongan yang masuk surga (Ahlusunnah wal Jamaah) adalah golongan yang tidak ekslusif dan mau mengakui hak kelompok lain terhadap surga.
 
Sedangakan versi yang menyatakan hanya satu kelompok saja yang masuk neraka mengarah pada kelompok yang mengklaim sebagai kelompok paling benar”.

Pada akhirnya ada sebuah hikmah juga di balik hadis tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, bahwa kebenaran dan kesalahan itu 1 berbanding 72. Maka dari itu jangan pernah lelah untuk merasa tersesat di jalan yang benar. Dalam artian walaupun kita sudah ada di jalan yang benar tapi kita harus mempunyai jiwa kritis agar keimanan kita semakin bertambah bukan semakin lengah.

Surga adalah tempat kita bersama namun biarkan Tuhan menentukannya. Karena hal itu adalah hak Dia sebagai Sang Pencipta dan amal kita selama didunia tak sebanding dengan mewahnya surga yang telah disiapkanNya. Demikian juga jika surga ditentukan dengan amal dan umur, maka kelak kita di surga hanya sesuai seberapa lama kita hidup di dunia. Meski begitu seberapa kali kita melakukan amal yang diterima-Nya.

Maka dari itu, bukan amal yang menyebabkan kita bisa masuk surga tetapi cinta-Nya lah yang membuat kita kelak masuk ke dalam surga. Dalam hadits qudsi dinyatakan “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih besar dari pada murka-Ku”.

Tugas kita sebagai manusia adalah beribadah dan menjaga keharmonisan sesama ciptaan-Nya. Atur saja perkara yang selayaknya kau atur. Jangan mengatur apa yang menjadi hak-Nya. Karena Dia Tuhanmu bukan kau yang menjadi Tuhannya.
 

Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, saat ini sedang melanjutkan studi di Universitas Dakwah, Beirut, Lebanon