Opini

Soal Tradisi Jamuan dalam Tahlilan

Rab, 12 Februari 2020 | 05:30 WIB

Soal Tradisi Jamuan dalam Tahlilan

Ilustrasi tahlilan dan yasinan. (Foto: via kompasiana)

Oleh Ahmad Hamid

Ahmad: "Kang saiki tahlilan ngon sapa (Kang, sekarang tahlilan di tempat siapa)?”

Iman: "Ngon Pak Kaji Anwar (Di tempat Pak Haji Anwar)"

Ahmad: "Weh mangkat eh...biasane suguhane enak-enak, akeh maneng (Weh, berangkat ah, biasanya jamuannya enak-enak, banyak lagi)"

Iman: “Jelas, wis dipesenke mau nang warung entok pojokan kae (jelas, sudah dipesankan tadi di warung pojokan sana)”

Ahmad: “Wih nambah iki engko hehe (Wih, nambah ini nanti hehe)”

Itulah penggalan percakapan antara Ahmad, Iman serta membawa nama Haji Anwar. Tentunya nama tokoh tersebut adalah tokoh fiktif, namun percakapan tersebut adalah benar-benar terjadi di lingkungan penulis. Sebelumnya ini hanya oknum tetapi tidak menutup kemungkinan di luaran sana juga banyak, karena faktor ketidaktahuan atau hal yang lain.

Dzikir bersama atau yang kita kenal dengan yasinan atau tahlilan adalah jelas hal yang dianjurkan. Bahkan Ibnu Taimiyah yang sering dipersepsikan menolak tahlilan berpendapat bahwa berkumpul bersama untuk berdzikir, membaca ayat Al-Qur'an serta mendoakan untuk orang-orang yang sudah meninggal adalah termasuk amal shaleh. Tetapi jika niatnya untuk yang lain sudah beda lagi.

Yasinan atau tahlilan merupakan ruang konsolidasi masyarakat. Tradisi ini dilakukan dalam bentuk kelompok di desa-desa. Mereka bergiliran dari rumah ke rumah setiap seminggu sekali yang dilaksanakan pada hari Kamis malam Jumat. Dalam acara tersebut selain dzikir dan baca surat yasin juga diselingi dengan musyawarah berkaitan dengan banyak hal.

Karena jamaah yasinan tidak mengenal kedudukan dan usia, semua kalangan dari berbagai lapisan dari pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan orang awam masuk di dalamnya. Semua permasalahan unek-unek bisa diselesaikan di majelis yasinan.

Jamaah ini memang sangat dipentingkan di desa-desa terutama di kalangan warga NU. Selain sebagai ajang silaturahim, temu sedulur juga sebagai ajang untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab serta kemesraan antarumat Muslim.

Banyak anak-anak muda yang notabenenya "anak jalanan" juga ikut di dalamnya, meskipun mereka belum lancar membaca surat yasin tetapi karena seringnya dengar lantunan surat yasin setiap seminggu sekali, menjadikan mereka hafal di luar kepala. Benar-benar luar biasa.

Setelah selesai tahlilan dan ditutup dengan doa biasanya ada waktu untuk penyampaian-penyampaian beberapa informasi dari warga kepada para pemangku kepentingan. Kemudian muncullah bermacam-macam jamuan yang sangat lengkap. Ada daging kambing, bakso, soto, daging ayam lengkap dengan buah-buahan.

Terasa begitu lengkap hidangan. "go rene kang segane (bawa sini kang nasinya)", "go rene kang AC-ne (bawa sini kang AC-nya)" perlu diketahui AC disini bukan AC pendingin ruangan atau kipas angin tetapi AC di sini adalah salah satu jenis buah rambutan. Begitu banyak suara-suara, yang intinya tukar menukar makanan, yang jauh didekatkan dan yang dekat dijauhkan. Keakraban jelas begitu terasa.

Di dalam hati Saridin, yang hanya seorang buruh tani biasa. Mungkin makanan yang dihidangkan sangat enak, harusnya lahap namun saya perhatikan ia tidak bisa menikmati, kenapa alasannya ya?

Usut punya usut, Saridin adalah tetangga dari Haji Anwar. Setelah ini, Jumat depan giliran Sarindin sebagai tuan rumah. "Wah bisa ura ya, nyuguh jamaah tahlilan kaya kiye, pol kumplite lan sempurna, kaya-kaya ura bisa, bisa-bisa ura ana sing mangkat pas giliran nang umahku, mampune ya paling nyuguh tela goreng mewah-mewahe gedang goreng (Wah, bisa gak ya, menyuguhkan jamaah tahlilan seperti ini, komplit dan sempurna banget, sepertinya gak bisa, bisa-bisa gak ada yang berangkat pas giliran di rumahku, mampune ya paling menyuguhkan telo goreng mewah-mewahnya pisang goreng).”

Itu gambaran awal tentang Saridin sebelum pergi berperang. Karena perasaan minder akhirnya Saridin memutuskan untuk keluar dari jamaah. Saridin mengorbankan kebersamaan di desa tersebut demi sebuah harga diri.

Saridin adalah korban pertama dari perlombaan jamuan yang dibungkus dengan tahlilan. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab atau siapa yang harus disalahkan. Saridin hanya bisa meratapi nasib mengapa dia tidak menjadi orang kaya yang mempu memberikan jamuan mewah pada jamaah yasinan. Sifat iri pun muncul dari hati Saridin, yang menyebabkan dia tidak bersyukur bahkan mengutuk nasibnya sebagi seorang buruh tani.

Belum lagi beban mental, kalau yang mendapat giliran yasinan adalah orang kaya yang berpangkat, jamaah yang hadir sangat banyak, majelis sampai ke luar rumah tetapi ketika kelas Saridin yang punya hajat boro-boro sampai ke luar. Dalam saja kadang tidak penuh. Sungguh dosa besar yang terjadi dalam masyarakat kita.

Kembali ke benang merah. Minggu depannya yang seharusnya giliran di rumah Saridin, karena Saridin mengundurkan diri kemudian diambil oleh Pak Kaji Joko, juragan sapi yang terkenal di kotanya. Belum-belum Pak Joko sudah woro-woro menu yasinan nanti malam belum pernah ada yang memasak makanan ini. pokonya enak dijamin ketagihan.

Di sini sudah jelas niatnya yang tadinya amal shaleh karena bumbu "berlebihan" menjadikan perlombaan yang tidak baik. Malah menjadikan kecil hati bagi yang tidak mampu. Padahal jelas agama kita melarang sesuatu yang berlebihan. Ini diibaratkan seperti pembangunan masjid yang "magrong-magrong" di sana-sini, di kota bahkan di desa, tetapi setelah masjidnya jadi hanya dijadikan pajangan  yang sholat jamaah bisa dihitung dengan jari.

Jadi tahlilan seakan-akan hanya sebagai ajang untuk menunjukkan kelas sosial. Orang akan dicap kaya apabila bisa menjamu jamaah dengan makanan yang lengkap dan mewah, serta orang yang tidak bisa mengeluarkan jamuan yang lengkap bisa dicap sebagai seorang menengah ke bawah.

Apabila lawan dari orang-orang mampu ini adalah orang yang punya gengsi, mereka akan menghalalkan segala cara demi harga diri. Hanya karena menggilir tahlilan dan agar dicap tadi rela utang bahkan menjual apa yang ada demi sebuah jamuan. Ini benar-benar memberatkan kehidupan umat.

Ayo kembalikan ke niat awal. Jangan sampai hanya karena gengsi dan ingin mendapat pengakuan dari masyarakat harus membengkokan sesuatu yang sudah jelas lurus. Jujur kalau berada di luar kota atau ketika di perantauan yang dikangen adalah saat-saat seperti ini. Yasinan, tahlilan dengan canda dan tawa bersama.

Tetapi jangan ada korban yang mejadi kecil hati seperti Saridin tadi. Intinya tidak boleh ada Saridin-Saridin yang lain bagaimana caranya harus dicegah. Untuk orang-orang yang sudah dianugerahi oleh Allah rezeki melimpah hati-hati dalam hal apa pun. Karena  gajah bertarung melawan gajah, peladuk mati di tengah-tengah.
 

Penulis adalah pegiat Gerakan Literasi Ma’arif Wonosobo, Guru SD Al-Madina Wonosobo