Opini

Moderatisme dan Ekstremisme dalam Agama

Rab, 12 Februari 2020 | 08:00 WIB

Moderatisme dan Ekstremisme dalam Agama

Ilustrasi. (NU Online)

Oleh Mu’arif Rif’at Syauqi

Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), Islam bukan agama yang mengajarkan kekerasan. Karakteristik ajaran Islam adalah tawasuth (moderat). Makna moderat sendiri adalah tidak ekstrem kiri dan tidak pula ekstrem kanan. Dalil dari sikap moderat telah tercantum di Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143 dan juga dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa “Sebaik-baik perkara adalah yang paling tengah”.

Terkadang orang-orang di luar sana melihat Islam hanya dari sebelah mata saja, seperti halnya di negara barat khususnya Amerika, muncul istilah Islamophobia. Sebenarnya tidak hanya agama Islam, agama-agama lainpun tidak pernah mengajarkan kekerasan, justru agamalah yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.

Istilah Islamophobia ini muncul akibat efek trauma orang-orang Amerika terhadap peristiwa yang pernah menimpanya, yaitu runtuhnya WTC (World Trade Center) di New York City. Diduga yang melakukan pengeboman ini adalah kelompok-kelompok Islam ekstrim yang mengatasnamakan agama sebagai kedoknya. Mereka sering melakukan hal-hal yang ekstrim dalam membela agama dan yang lebih miris lagi adalah melakukan hal-hal ekstrem dengan mengatasnamakan Tuhan, bahkan mengafirkan saudaranya sesama Muslim.

Hal-hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan ketika berbeda pandangan dengan kelompok mereka. Banyak sekali aksi-aksi yang mereka lakukan diluar nilai-nilai keislaman dan tidak menggambarkan sebagai orang yang beragama. Itulah salah satu penyebab munculnya Islamophobia.

Bom bunuh diri diberbagai negara termasuk di Indonesia sering mereka lakukan. Menurutnya, itulah yang dinamakan jihad, berjuang untuk membela agama. Apabila term jihad hanya ditafsiri dengan perang, maka itu hanya menyempitkan makna yang sesunguhnya yang terkandung dalam term jihad itu sendiri, karena makna jihad sesunguhnya lebih luas dibanding perang mengunakan senjata. Anehnya orang-orang yang melakukan bom bunuh diri atau apapun hal ekstrim lainnya, mereka itu adalah orang yang beragama bukan seorang atheis.

Lebih mirisnya lagi, hal ini sering dilakukan oleh orang-orang yang rajin beribadah, hafal Al-Qur’an dan bahkan seorang pemuka agama sekali pun. Fenomena ini relevan dengan apa yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, bahwa akan datang orang-orang yang pandai membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan. Dalam artian, ilmunya tidak menjadikan dirinya berakhlak mulia malah menjadikan malapetaka.

Jangan heran jika mendapati orang yang sering beribadah tetapi melakukan hal-hal yang ekstrem. Dahulu, yang membunuh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib pun adalah seseorang yang hafal Al-Qur’an, sering shalat malam (qiyamul lail), dan di siang hari berpuasa, dia lah Abdurrahman bin Muljam.

Namun, akibat pemahamannya yang terkontaminasi paham-paham ekstrem (khawarij), ia sampai berani melakukan pembunuhan tersebut. Seharusnya, orang yang benar-benar memahami Al-Qur’an tidak mungkin melakukan perbuatan yang mengacu pada perpecahan. Jangankan membenci orang Muslim, dengan orang kafir pun kita tidak boleh membenci yang mengakibatkan kita menjadi tidak adil.

Dalam ajaran agama Islam, khususnya Ahlusunnah wal Jamaah, kita pasti mengenal ukhuwah (persaudaraan). Ukhuwah ini dirumuskan menjadi tiga oleh KH Achmad Shiddiq yaitu Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan sesama satu bangsa), dan Ukhuwah Basyariyyah (persaudaraan sesama manusia). Ketika manusia sudah memahami ketiga ukhuwah ini, makakemungkinan akan meminimalisir terjadinya perpecahan. Sebab, tak ada alasan untuk bercerai-berai.

Jika kita memuliakan manusia, sama saja kita memuliakan penciptanya. Akhir-akhir ini, paham-paham ekstrem mulai merambat ke negara Indonesia, di mana negeri ini dikenal dengan kedamaian dan kerukunan serta penuh dengan toleransi. Oknum-oknum yang menyebarkan paham-paham ekstrem di era sekarang ini kita kenal sebagai neo-khawarij. Mereka memang tak sekeras nenek moyangnya, tetapi tetap saja terlihat dari sebagian cara mereka yang lebih cenderung kaku dalam beragama.

Dalam cara berdakwah, hampir tidak jauh berbeda.Mereka masih sering mengkafirkan kelompok lain dan sekarang mereka sering meneriakan asumsi untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Padahal, kita tak bisa begitu saja untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits. Banyak sekali masyarakat awam yang luluh hatinya karena hanya melihat cangkangnya saja, tapi tidak berusaha melihat esensinya. Dakwah-dakwah kelompok mereka sangat menarik perhatian generasi milenial saat ini baik darisegi membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Namun, sayangnya mereka melupakan cara untuk memahami Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an dan Hadits harus dipelajari dan dipahami substansinya secara bertahap dengan cara mengkajinya melalui guru yang jelas sanad keilmuannya dan ahli di bidangnya agar tidak menimbulkan salah paham. Sebab, tidak mungkin pahamnya yang salah, dalam artian tidak mungkin Al-Qur’an dan hadits yang salah, akan tetapi pembacanya yang salah dalam memahami kandungan Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri.

KH Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal dengan Gus Dur dalam syairnya mengatakan:

Akeh kang apal Qur’an haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke 
Yen isih kotor ati akale

Artinya, “Banyak yang hafal qur’an dan hadits, senang mengkafirkan orang lain, kafirnya sendiri tak dihiraukan, jika masih kotor hati dan akalnya”.

Bahkan, saat ini kelompok yang kita kenal sebagai Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) membuat khawatir negara Indonesia. Di Indonesia, ISIS memecah dirinya menjadi kelompok lain yang dikenal dengan nama HTI. Kelompok seperti ini merupakan suatu ancaman yang dapat merusak kesatuan dan persatuan juga keharmonisan bangsa dan negara.

Mereka mengaku Islam tapi membunuh manusia dengan sadis, melakukan pengeboman terordan lain sebagainya. Tak jarang kelompok ekstrem yang tersebar di Indonesia melakukan pencucian otak dan menggiring masyarakat menentang budayanya sendiri, seperti membid’ahkan amalan yang sudah biasa diamalkan atau dilakukan oleh muslim di negara ini, contoh kecilnya seperti tawasul, tabaruk,istigotsah dan ziarah. Menurutnya, amalan-amalan seperti itu  bisa membuat seseorang menyekutukan Allah.
 
Apa sih sebenarnya makna ekstrem itu dan bagaimana? Ekstrem menurut KBBI yaitu: paling keras, paling ujung, sangat teguh, dan fanatik. Ekstremitas adalah perbuatan yang melewati batas. Dalam Islam dikenal juga ghuluw yaitu berlebih-lebihan dalam suatu perkara yang mengakibatkan seseorang melenceng dari agama, yang ditengarai dengan sikap fanatik terhadap suatu pandangan tertentu, berprasangka buruk terhadap kelompok lain, dan bahkan sampai pada tahap mengafirkan jika berbeda pandangan.

Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang atau sebuah kelompok menjadi ekstrem, di antaranya adalah mempelajari agama (Islam) secara parsial, menyimpulkan hukum berdasarkan pengetahuan minim, menentukan hukum secara langsung dari nash dengan metode yang kaku, tidak berusaha memahami apa maksud dan tujuan suatu ayat atau hadits terlebih dahulu, tidak peduli perubahan zaman, dan juga memahami Al-Qur’an serta hadits apa adanya (secara harfiah).

Jika melihat ke belakang, ekstremitas ini telah muncul bahkan sebelum adanya Islam. Tercatat dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani bersikap ekstrem dalam mengagungkan pemimpinnya, beberapa ayatnya yaitu:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka, sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S  At-Taubah: 31)

"Katakanlah, Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas), dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad), dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (Q.S Al-Maidah: 77)

Yahudi mengatakan serta meyakini Uzair adalah anak Tuhan, dan Nasrani juga mengatakan bahwa Isa adalah anak Tuhan yang dikemas dalam konsep Trinitas. Alasan mereka menjadikan Isa anak Tuhan adalah karena ia lahir tanpa ayah. Padahal itu adalah hal yang biasa. Jika kita bandingkan dengan bapak manusia yaitu Nabi Adam yang lahir tanpa ayah dan ibu, maka Nabi Adam lah yang berhak mendapat gelar anak Tuhan. Inilah sikap berlebihan di kalangan ahli kitab yang justru menyesatkan mereka dari jalan yang lurus.

Pada zaman Rasulullah pun ekstremitas telah terjadi di kalangan para sahabat. Sahabat nabi merupakan manusia biasa (basyar), mereka tidak ma’shumdan tak luput dari kesalahan. Ekstremitas di kalangan sahabat terjadi karena gairah semangat beragama yang tinggi, tapi bisa segera diredam dan diatasi langsung oleh nabi. Namun, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ekstremitas semakin menjadi-jadi dan tak bisa terbendung. Terutama pada masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu bermunculan berbagai kelompok seperti Syiah, Murjiah, dan Khawarij.

Pada akhirnya kita harus bisa memahami segala sesuatu khususnya agama dengan moderat (tawasuth, tawazun, dan i’tidal), Moderat dalam beragama akan menjadikan hidup kita tenang, tenteram dan bahagia. Coba kita renungkan saat telunjuk kita menunjuk untuk mengafirkan orang lain, ada berapa jari yang kembali kediri kita sendiri? Hal itu merupakan isyarat agar kita tidak seenaknya menuduh orang lain.

Bahkan dalam kitab Sullam al-Taufiq tertulis, jika kita menuduh orang lain kafir, maka dirinya sendiri telah menjadi kafir. Salah satu dari ciri Ahlusunnah wal Jamaah adalah tidak gampang mengafirkan orang lain. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari pernah menulis dalam kitabnya Maqalat Islamiyyin saat menjelaskan Aqidah Aswaja: 

“Mereka Ahlusunnah wal Jamaah tidak mengafirkan seseorang dari ahlul qiblah sebab perbuatan dosa seperti berzina, mencuri, dan sesamanya dari dosa-dosa besar. Mereka dengan keimanan yang bersama mereka adalah orang-orang mukmin, meskipun melakukan dosa-dosa besar.”
 
Selain itu, dalam kitab Mukhtar al-Ahadits terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Amamah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

أحسن الى جارك تكن مؤمنا و أحب للناس ما تحب لنفسك تكن مسلما

“Berbuat baiklah dengan sebaik-baiknya pada tetangga, maka kamu akan menjadi mukmin, dan cintailah manusia seperti halnya kamu mencintai diri sendiri, maka kamu akan menjadi seorang Muslim.”

Dari sini saya bisa mengambil kesimpulan bahwa agama Islam adalah agama cinta. Perlu dipertanyakan keislamannya jika seorang Muslim beragama tanpa adanya cinta.
 

Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, saat ini sedang melanjutkan studi di Universitas Dakwah, Beirut, Lebanon