Fragmen

3 Tokoh Besar NU yang Meninggal Juli: KH Hasyim Asy’ari, KH Mahfudz Siddiq, KH Idham Chalid

Sab, 29 Juli 2023 | 20:00 WIB

3 Tokoh Besar NU yang Meninggal Juli: KH Hasyim Asy’ari, KH Mahfudz Siddiq, KH Idham Chalid

Logo NU lawas dengan latar belakang majalah Berita Nahdlatoel Oelama. (Foto: NU Online)

Bulan Juli menjadi momen meninggal dunianya 3 tokoh Nahdlatul Ulama, yaitu Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Idham Chalid, dan KH Mahfudz Siddiq. KH Hasyim Asy’ari meninggal pada 25 Juli 1947, KH Idham Chalid meninggal pada 11 Juli 2010, dan KH Mahfudz Siddiq meninggal pada 14 Juli 1944.


Ketiga tokoh NU tersebut mempunyai peran besar masing-masing terutama bagi persatuan dan kemerdekaan bangsa Indonesia serta bagi perkembangan pesantren. Terutama KH Hasyim Asy’ari sebagai tokoh sentral bagi perjuangan kalangan pesantren dalam melakukan berbagai perlawanan terhadap kolonialisme, termasuk melakukan diplomasi luar negeri guna menggalang pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia.


Berikut profil 3 tokoh NU yang meninggal di bulan Juli.


1. Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok pemimpin besar dari kalangan pesantren yang turut menggerakkan dan memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Nama lengkapnya Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Halim, lahir di Desa Tambakrejo, Jombang, pada 14 Februari 1871.


Kiai Hasyim Asy’ari lahir dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Dia erupakan anak ketiga dari 10 bersaudara. Jika dirunut, silsilah keluarga Kiai Hasyim Asy’ari bersambung ke Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng). Lembu Peteng memiliki putra bernama Jaka Tingkir (Mas Karebet) yang juga merupakan kakek kedelapan Kiai Hasyim Asy'ari.


Chairul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (2005) mencatat silsilah Kiai Hasyim Asy’ari yaitu: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Joko Tingkir (Karebet) bin Prabu Brawijaya VI (Lembu Peteng).


Ayah Kiai Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Pesantren Keras, Jombang. Buyutnya yang bernama Kiai Usman, juga pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang pada akhir abad 19.


Halimah merupakan puteri dari Kiai Usman dan Nyai Lajjinah (baca Layyinah). Kiai Usman merupakan Pengasuh Pondok Nggedang Jombang, tempat belajar Kiai Asy’ari.


Solichin Salam dalam KH Hasjim Asj’ari: Ulama Besar Indonesia (1963) menjelaskan, Nyai Halimah terlahir bernama Puteri Winih yang berarti benih pada tahun 1268 H bertepatan dengan 1851 M. Nyai Halimah mempunyai 4 saudara yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Ny Arif.


KH Hasyim Asy’ari dengan jaringan santri dan pesantren di Jawa serta Madura melakukan dua perlawanan terhadap penjajah, yaitu perlawanan kultural dan perlawanan bersenjata. Perlawanan bersenjata dilakukan dengan menggunakan senjata tradisional dan modern. Namun, kekuatan utamanya tetap pada akhlak, karakter kepemimpinan, dan kecerdasan dalam bertaktik serta berdiplomasi.


Yang masyhur ialah Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 ketika Belanda kembali mengagresi Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu di Surabaya. Fatwa jihadhnya tersebut mampu memberikan kekuatan lahir dan batin para pejuang Indonesia sehingga berhasil mempertahkan kemerdekaan.


KH Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di kompleks makam keluarga Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. KH Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964 melalui Keppres Nomor 294 Tahun 1964.


2. KH Mahfudz Siddiq

Berlatar belakang keluarga pesantren Mahfudz kecil dibina oleh ayahnya sendiri. Meskipun berada di tengah keluarga agamis beliau tidak berhenti belajar hanya di pesantrennya sendiri. KH. Mahfudz Siddiq adalah putra sulung dari KH. Siddiq (penulis Nadzam Kitab Safinah) dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf. Beliau adalah kakak kandung dari KH Achmad Siddiq (1926-1991, Rais ‘Aam PBNU).


KH Mahfudz Shiddiq lahir di Jember, pada hari Kamis Pon, tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1325 H/ 1907 M. Beliau merupakan wafat di Jember, tanggal 5 Muharram 1363 H/ 01 Januari 1944 M dan dimakamkan di pemakaman keluarga Turbah, Condo, Jember.


Mahfudz Siddiq adalah santri Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, di bawah pengajaran KH Hasyim Asy’ari. Sejak muda dia sudah terbiasa dengan dunia aktivisme sehingga menjadi sosok yang organisatoris.


Dunia aktivisme cukup membawa Mahfudz Siddiq terjun ke dunia jurnalistik dengan memimpin majalah Soeara Nahdlatoel Oelama sebagai pemimpin redaksi. Majalah tersebut kemudian berganti nama menjadi Berita Nahdlatoel Oelama. Dia berhasil menjadikan majalah tersebut sebagai corong kabar dan berita tentang NU dan pergerakan nasional.


KH Mahfudz Siddiq juga yang mengusulkan pergantian nama NO bagian pemuda menjadi ANP (Anshor Nahdlatoel Oelama), sekarang GP Ansor. Pada tahun 1937 M dalam Muktamar NO ke-12 di Malang, beliau terpilih sebagai Ketua PBNU mendampingi KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.


Di antara hasil pemikiran KH Mahfudz Sidiq adalah Mabadi Khoiru Ummah (landasan untuk mewujudkan umat yang terbaik), dilakukan dengan menggerakkan para mubaligh dan tokoh NU untuk memiliki sifat dan akhlak as-Shidqu (kejujuran), al-Wafa’u bil wa’di (menetapi janji, disiplin), dan at-Ta’awun (tolong-menolong, gotong-royong).


Kh Mahfudz Siddiq menulis buku Ijtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi. Hari-harinya di antaranya ia lalui untuk mendampingi Kiai Hasyim Asy’ari dan bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatan gurunya itu. Makanya, ia ikut ke dalam penjara ketika Kiai Hasyim Asy’ari juga dipenjara.


Siksaan kepada Kiai Mahfudz yang masih muda lebih kejam dan berat. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Mahfudz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia tahun 1944. Ketika itu usianya 37 tahun.


Ketika Indonesia merdeka pada Agustus tahun 1945, beberapa bulan setelah Kiai Mahfudz wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu.

 

3. KH Idham Chalid

KH Idham Chalid bisa dikatakan tokoh NU pertama yang mengemban puncak kekuasaan politik di era Presiden Soekarno. Dia berkali-kali jadi wakil perdana menteri (waperdam). Pertama dalam kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-9 April 1957), kabinet Djuanda (9 April 1957-9 Juli 1959), dan dalam dua kabinet Dwikora (22 Februari 1966-25 Juli 1966).


Idham Chalid yang lahir di Setui, dekat Kota Baru (Kalimantan Selatan) pada 27 Agustus 1922 ini sudah terlihat cerdas sejak bocah. Ahmad Muhajir dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (2007) menyebut Idham yang cerdas langsung dimasukkan ke kelas dua Sekolah Rakyat (SR) Amuntai ketika baru mendaftar dan bakat pidato tanpa teksnya sudah terlihat.


Setelah menamatkan sekolah dasarnya pada 1935, Idham remaja melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Rasyidiyyah. Di madrasah ini, Idham bukan hanya belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga belajar ilmu pengetahuan umum, bahasa Arab, dan Inggris.


Pada 1938, Idham dikirim orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Ia belajar di Gontor selama lima tahun: tiga tahun di Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyyah (pendidikan guru agama Islam) dan dua tahun tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw. Umumnya, santri-santri lain menyelesaikan pendidikan di Gontor selama tujuh hingga delapan tahun, tetapi Idham hanya menuntaskannya dalam waktu lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan Idham di atas rata-rata.


Idham remaja memiliki semangat yang tinggi untuk menimba ilmu. Usai belajar di Gontor, dia melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada 1943. Satu tahun berselang, ia kembali ke Gontor untuk mengajar dan menjabat sebagai wakil direktur di almamaternya itu. Selain itu, Idham juga mendalami bahasa-bahasa asing. Tercatat, dia sanggup menguasai enam bahasa asing yaitu Arab, Inggris, Jepang, Belanda, Perancis, dan Jerman. Dua bahasa terakhir ia kuasai secara pasif.


Keterkaitannya dengan NU dimulai pada tahun 1952 ketika ia aktif dalam Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan dibawah NU. Dua tahun kemudian ia dipercaya memegang jabatan Sekretaris Jenderal PBNU. Kemudian menjadi Ketua Umum PBNU. Mulai mengemban amanat itu, Idham otomatis sebagai tokoh termuda saat berusia 34 tahun yang pernah memimpin PBNU. Ia memimpin NU pada tahun 1956 sampai tahun 1984. Kepemimpinannya selama 28 tahun adalah sebuah catatan dan prestasi yang fenomenal.


Dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU, Idham membentuk ikatan sekolah Islam (Ittihad Al-Ma’ahid Al Islamiyyah) untuk melawan Jepang dan membangun kerja sama antar sekolah Islam. Ada tujuh sekolah Islam yang tergabung dalam jaringan pesantren bentukan Idham ini: Normal Islam (Amuntai), Al-Fatah (Paliwara Hilir), Zakhratun Nisaa (Paliwara Hulu), Al-Hidayah (Sungai Durian), At-Tadlhiyyah (Pekapuran), Al-Fajar (Paringin), As-Sullamun Najah (Telaga Selaba), dan Asy-Syafi’iyyah (Lok Bangkai).


Semenjak itu, Kiai Idham lebih banyak berikiprah di dunia politik dan pemerintahan. Namun demikian, ia tidak meninggalkan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Bahkan pada 1959, Kiai Idham mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang pengetahuan Islam dan perjuangan Islam.


Yayasan Darul Quran Idham Chalid dan Darul Maarif yang berada di Jakarta Selatan menjadi ‘penanda akhir’ dari perjuangan dan petualangan Kiai Idham Chalid dalam dunia pendidikan.


KH Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010. Ia dimakamkan di Pesantren Darul Quran, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Setahun kemudian, KH Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Ia merupakan putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Foto KH Idham Chalid diabadikan ke dalam mata uang rupiah pecahan 5.000.