Fragmen

40 Tahun Wafat KH Bisri Syansuri (2): Ketundukan kepada Guru

Rab, 29 April 2020 | 16:15 WIB

40 Tahun Wafat KH Bisri Syansuri (2): Ketundukan kepada Guru

KH Bisri Syansuri, Rais Aam ketiga PBNU

Sebagaimana disebutkan pada bagian pertama, KH Bisri Syansuri merupakan salah seorang santri yang pernah berguru kepada berbagai ulama, baik di dalam negeri, maupun luarnegeri. Salah seorang sahabat yang kemudian menjadi kakak iparnya saat menuntut ilmu itu adalah KH Wahab Chasbullah. Mereka bersama-sama saat di Bangkalan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, saat di Tebuireng kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. 
 
Begitu pula saat di Makkah, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki. Selain itu, keduanya berguru kepada guru-guru sang guru (Kiai Hasyim) yakni KH Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghastani, KH Mahfudz Tremas.

Di antara para gurunya itu, Kiai Bisri kemudian dekat secara pribadi dengan HadratussyekhKH Hasyim Asy’ari. Selain karena kelaiman sang guru, jarak tempat tinggal keduanya bisa dikatakan dekat, sama-sama di Jombang. 

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku Khazanah Kiai Bisri Syansuri dan KH Abdussalam Sohib (dkk) dalam buku Kiai Bisri Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, masing-masing menyebutkan bahwa Kiai Bisri selalu tunduk kepada perintah gurunya itu. Bahkan, hal-hal yang penting yang tidak bisa ia putuskan, Kiai Bisri menunggu izin dari gurunya. 

Misalnya, pada saat Kiai Bisri menimba ilmu di Tanah Suci Makkah. Menurut Gus Dur, saat di Makkah, Kiai Wahab bersama Kiai Abbas Jember, Kiai Asnawi Kudus, dan Kiai Dahlan Kertosono mendirikan Syarikat Islam (SI) yang merupakan cabang dari SI di Hindia Belanda. 

Kiai Bisri tentu bukan tidak tahu kawan-kawannya membentuk SI. Namun, dia tidak mengikuti jejak mereka bukan karena tidak setia kawan atau mengharamkan organisasi, melainkan belum tahu apa pendapat gurunya, Hadratussyekh yang berada di Hindia Belanda. Tentu saja waktu itu, susah bagi Kiai Bisri untuk menanyakan langsung mengingat jarak yang jauh. 

Menurut Gus Dur, sebelum mendapat izin dari Hadratusyekh, Kiai Bisri keburu pulang ke Tanah Air sebab Perang Dunia I membuatnya segera pulang. Jika saat berangkat ia berstatus lajang, saat pulang, ia telah menjadi suami dari adiknya temannya, Kiai Wahab. 

Kemudian, sepulang dari Tanah Suci, Kiai Bisri menetap selama dua tahun di pesantren mertuanya, daerah Tambakberas. Setelah itu, ia membangun pesantrennya sendiri di daerah Denanyar, yang tidak jauh dari Tambakberas. Ia kemudian menjadi kiai muda. 

Sebagai orang yang haus ilmu, Kiai Bisri berguru kepada Hadratusyekh tetap dilakukan. Terutama saat bulan Ramadhan. Ia turut bersama santri-santri dan kiai muda lainnya mengikuti pengajian kitab Shahih Bukhari.  

Menurut Gus Dur, pada tahun 1919, Kiai Bisri melakukan hal yang baru, yakni menerima santri perempuan. Mereka sebetulnya anak-anak tetangganya sendiri. Namun pada waktu itu, menerima santri perempuan bukan hal yang lazim, khususnya di Jawa Timur. 

“Ternyata pada tahun 1919 Kiai Bisri Syansuri membuat percobaan yang menarik yaitu dengan mendirikan kelas untuk santri perempuan di pesantrennya. Mereka adalah anak-anak tetangga sekitar yang diajar di beranda belakang rumah Kiai Bisri sendiri. Langkah penting ini adalah percobaan pertama di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada kepada anak-anak perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur,” tulis Gus Dur. 

Percobaan ini, menurut Gus Dur, tidak dikonsultasikan dulu dengan Hadratussyekh sehingga suatu hari sang guru datang untuk menyaksikan kelas perempuan tersebut. Namun, ternyata sang guru tidak memberikan izin, tapi juga tidak melarangnya. Karena itulah, Kiai Bisri melanjutkan kelas perempuan tersebut. 

“Ketetapan hatinya untuk meneruskan percobaan itu adalah suatu perubahan sikap yang besar dalam diri Kiai Bisri Syansuri, sedangkan sebelumnya ia tidak pernah mengambil tindakan baru apa pun tanpa memperoleh perkenan sang guru terlebih dahulu,” tulis Gus Dur. “Mungkin pada saat itu telah terjadi perkembangan yang dibawakan oleh kematangan sikap dalam menentukan keputusan berdasarkan pranata hukum agama,” lanjutnya. 

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad