Fragmen

73 Tahun JQHNU, Episentrum Para Ahli Al-Qur'an

Sel, 16 Januari 2024 | 19:00 WIB

73 Tahun JQHNU, Episentrum Para Ahli Al-Qur'an

Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU). (Foto: NU Online/Fathoni)

15 Januari 2024, Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) genap berusia 73 tahun. Dalam Anggaran Rumah Tangga NU Hasil Muktamar Ke-34 Tahun 2021 di Lampung Pasal 16 ayat 7, JQHNU merupakan badan otonom yang beranggotakan Qori/Qoriah dan Hafizh/ Hafizhah.


Organisasi ini didirikan atas inisiasi KH Abdul Wahid Hasyim dengan mengundang sejumlah ulama ahli Al-Qur'an se-Indonesia. Mereka berasal dari berbagai organisasi ahli Al-Qur'an lokal di kota masing-masing.


Sebagaimana dikutip dari Ensiklopedia NU (2014), ada banyak organisasi ulama qurra dan para penghafal Al-Qur'an yang tumbuh di sejumlah daerah di Indonesia.

 

Misalnya, Jam’yyatul Huffadh di Kudus, Jawa Tengah; Nahdlatul Qurro di Jombang, Jawa Timur; Wihdatul Qurra di Sulawesi Selatan; Persatuan Pelajar Ilmu Qiraatil Qur’an di Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Madrasatul Qur’an di Palembang, Sumatra Selatan; dan Jamiyyatul Qurra di Medan, Sumatra Utara. JQH menjadi organisasi yang menyatukan semuanya dan berada di tingkat nasional.


Pertemuan itu membentuk kepengurusan pertama Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh. Kemudian kepengurusan ini disahkan dalam sebuah peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, 12 Rabiul Awwal 1371 H atau bertepatan dengan 15 Januari 1951 di kediaman H Asmuni di Sawah Besar, Jakarta. Tanggal tersebut menjadi penanda lahirnya organisasi yang menjadi episentrum para ahli Al-Qur'an itu.


Kepengurusan pertama di bawah kepemimpinan KH Abu Bakar Aceh membuat JQH berkembang cukup pesat dengan mendirikan lebih dari 50 wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. JQH juga dipercaya Kementerian Agama saat itu untuk menjadi bagian dari pentashih Al-Qur’an dan menggelar pelatihan kader qari. Di tahun kedua kepengurusan pertama sekaligus kongres perdananya, JQH telah memiliki 86 cabang dan 10 komisariat.


Keberadaan JQHNU ini memberikan peningkatan kualitas dan pengembangan literasi Al-Qur'an. Terbukti dengan semakin banyaknya qari Indonesia yang bertaraf internasional. Mereka menjadi terbaik dalam MTQ-MTQ internasional di berbagai negara. Para qari ini juga terus bergerak mengader qari-qari baru untuk menjadi penerus.


“Para ahli qurra itu pun secara khusus mengajar kepada para santri dan muridnya di pesantren atau di lingkungan masyarakatnya untuk menyebarkan ilmu dan mendidik kader-kader penerus mereka.” (25 Tahun Musabaqah Tilawatil Qur’an dan 17 Tahun Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an, 1994).


Sebagaimana diketahui, JQHNU merupakan organisasi yang menginisiasi penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Kegiatan itu kali pertama digelar di Indonesia dalam rangka Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung tahun 1964. MTQ yang kemudian berskala internasional pada tahun berikutnya menjadi pioner yang dikembangkan terus-menerus hingga digelar secara rutin sejak tahun 1968 oleh Kementerian Agama.


KH Bashori Alwi dalam catatannya menyampaikan bahwa kesuksesan acara MTQ internasional dalam KIAA itu membuat tiga qari Indonesia diutus untuk berkeliling ke luar negeri, tepatnya ke 11 negara dengan penduduk mayoritas Islam.

 

Tiga qari itu adalah KH Aziz Muslim dari Tegal, KH Fuad Zen dari Pondok Buntet Pesantren Cirebon, dan KH Bashori Alwi dari Singosari Malang. Menurut Kiai Bashori, mulanya yang diberangkatkan adalah K Chaulid. Namun, K Chaulid itu tengah sakit sehingga Kiai Bashori yang berangkat.


“Karena sukses itu, lantas Allah memberi balasan, itu di luar pengurusnya. Dari anggota JQWH ini, ada 3 orang yang diundang dan dikirim ke luar negeri ke sebelas negara-negara Islam, seperti Ustadz H Aziz Muslim, kemudian Ustadz Fuad Zein, mestinya Ustadz Chaulid Dauly, tapi Ustadz Chaulid waktu itu sakit, lantas ada telegram yang kesasar kspada K.H. Bashori Alwi, terpaksa menggantikan Ustadz Chaulid.” (Transkrip pidato KH Bashori Alwi dalam arsip Perpustakaan Nahdlatul Ulama nomor 158/mpjh/’89 dan 900/12/JQH).


Berdasarkan Peraturan Dasar (PD) JQHNU, organisasi yang saat ini dipimpin KH Akhsin Sakho Muhammad sebagai Rais Majelis Ilmi dan KH Saifullah Ma'shum sebagai Ketua Umum memiliki tiga tujuan, yakni sebagai berikut.

 
  1. terpeliharanya kesucian dan keagungan Al-Quran;
  2. meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan dakwah Al-Quran; dan
  3. terpeliharanya persatuan para qari-qariah, hafizh-hafizhah dan para ahli ulumul Quran serta pecinta, penggerak dakwah Al-Qur’an dengan mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah.


Struktur organisasi

Berbeda dengan banom-banom lainnya, struktur kepengurusan JQHNU terdiri dari penasehat, majelis ilmi, dewan organisasi, dan bidang-bidang. Penasehat adalah orang yang mempunyai hubungan moril dengan JQHNU dan dianggap mampu untuk memberikan Nasehat.

 

Sementara Majelis Ilmi adalah penentu kebijakan umum dan pengawas terhadap pelaksanaan kerja Dewan Organisasi dalam menjalankan JQHNU, sekaligus sebagai majelis pakar dalam ulumul Quran. Dewan Organisasi adalah pelaksana kegiatan yang diprogramkan oleh JQHNU dengan kebijakan dan strategi yang baik dan benar.


Rais Majelis 'Ilmi dan Ketua Dewan Organisasi dipilih melalui kongres di tingkat pusat; konferensi di tingkatan wilayah, cabang, dan anak cabang; serta musyawarah di tingkat komisariat dan ranting.