Fragmen

Ajengan Ilyas Berkelit dari Golkar

Jum, 1 Juni 2012 | 02:26 WIB

Maret 1986 adalah bulan yang paling berat dalam hidup Ajengan Ilyas Ruhiat. Pemilu 1987 menjadi gara-garanya. Sampai saat itu sebagai pengasuh pesantren yang terbilang besar di Jawa Barat, ia belum menyatakan dukungan kepada Golkar secara eksplisit. Dan itu rupanya membuat gerah pihak Golkar. 

<>Golkarisasi di Jawa Barat sejak 1971, yang dikenal sebagai proyek buldozer, dianggap belum afdol tanpa bergabungnya Cipasung. Orang politik rupanya tak cukup puas dengan dukungan Ajengan Ilyas terhadap Konsep Kembali ke Khittah 1926 yang dideklarasikan dalam Munas NU 1983 di Situbondo, dan diperkuat dalam Muktamar NU XXVII di tempat yang sama. Konsep itu secara implisit sebenarnya memberi angin segar buat Golkar, karena warga NU dilepaskan keterkaitannya dari PPP. Lewat muktamar itu pula Ajengan Ilyas dipilih sebagai salah seorang A’wan (anggota pleno) PBNU. 

Orang politik selalu ingin yang serba jelas dan demonstratif diperlihatkan di hadapan massa. Itulah yang diinginkan orang Golkar dari Ajengan Ilyas: mendukung Golkar secara ‘tegas’ dalam suatu kebulatan tekad dan maklumat di depan umum. Karena yakin Ajengan Ilyas tak mungkin secara sukarela melakukan hal itu sekalipun ada iming-iming materi, maka harus dibuat suatu ‘perangkap’. 

Satu peluang yang dipandang bisa dijadikan jalan ialah rencana pengembangan Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) melalui pembangunan Mesjid Amal Bhakti Pancasila di lingkungan kampus. Agar IAIC semakin didukung pemerintah, maka lembaga itu perlu melibatkan seorang tokoh nasional sebagai ‘Penasehat Utama’-nya. Tokoh yang dipandang paling tepat untuk kedudukan itu adalah Menko Kesra Alamsyah Ratuperwiranegara, mantan menteri agama dan anggota Dewan Penasehat Golkar. 

Maka proses Golkarisasi Cipasung pun dimulai. Oleh Zulkifli Abidin, asisten pribadi Alamsyah, Ajengan Ilyas dijadwalkan bertemu dengan Menko Kesra di kantornya, 4 Maret 1986. 

Dalam pertemuan itu, selain ada Alamsyah, hadir pula Akbar Tanjung, Yusuf Sukmana, Bahrowi, serta Haryono. Setelah melaporkan keadaan Pesantren Cipasung, khususnya Institut Agama Islam Cipasung, Ajengan Ilyas diberi pengarahan oleh Menko Kesra, hal-hal yang berhubungan dengan Pancasila, Kerukunan Umat beragama, dan Strategi perjuangan umat Islam Indonesia. Pada prinsipnya, umat Islam jangan bermusuhan dengan pemerintah. 

Seusai pertemuan Ajengan Ilyas  pergi kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164 untuk sekedar ‘melapor’. Ia bertemu dengan Wakil Sekjen Ahmad Bagdja dan menyampaikan hasil pertemuan di kantor Menko Kesra. 

Atas inisiatif Aspri Menko Kesra pula, Ajengan Ilyas dipaksa menerima keinginan untuk menjadikan Alamsyah sebagai Penasehat Utama IAIC. 

Sebagai rektor, ia menyadari sebenarnya jabatan itu tidak lazim dalam sebuah perguruan tinggi. Biasanya seseorang ditempatkan sebagai anggota Dewan Penyantun sebagai tanda kehormatan. Akan tetapi, karena demi ‘memuluskan hubungan IAIC dengan pemerintah’, ia tak bisa dan tak mungkin menolak. Untuk pelantikan penasehat utama itu, Menko Kesra akan datang ke Cipasung pada 21 Maret 1986.

Dalam pertemuan teknis dengan Bupati, Ketua DPRD Tingkat II, dan Kakandepag Tasikmalaya, Ajengan Ilyas mulai menyadari bahwa dirinya ‘terperangkap’. Dalam rangka kedatangan Menko Kesra itu, selain pelantikan penasehat utama IAIC, sebagai tanda terima kasih, ia harus juga mengukuhkan Alamsyah sebagai tokoh pembaharu Islam. 

Lalu, ini yang membuatnya terhenyak, ia harus menyatakan dukungan untuk Golkar dalam Pemilu 1987. Pertemuan itu juga harus dihadiri santri, alumni, dan ulama se-Jawa Barat. Menurut Bupati Tasikmalaya, hal itu sudah disetujui oleh Gubernur dan Ketua DPRD Tingkat I Jawa Barat. 

Ajengan Ilyas merasa gundah. Ia jadi mengerti mengapa dua orang adiknya begitu ngotot mendorongnya untuk mendukung Golkar secara terang-terangan. Rupanya hubungan mereka dengan Aspri Menko Kesra sudah begitu mendalam, sehingga ‘tega’ ikut dalam skenario menjebak dirinya. Atau mungkin keduanya tak sadar bahwa ‘permainan’ akan berjalan sejauh ini. Tetapi semua sudah berjalan. Membatalkan acara itu bukanlah pilihan terbaik. Menolak kehadiran Menko Kesra, pasti akan memunculkan urusan berkepanjangan. Sebagai pimpinan ia harus tetap tegar dan berjalan tegak menghadapi segala risiko. 

Ia lalu menulis sepucuk surat kepada Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, meminta masukan. Gus Dur ternyata tak memberikan kata putus, menolak atau menerima. Gus Dur balik menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Ajengan Ilyas, yang dianggapnya lebih tahu mana yang terbaik untuk Pesantren Cipasung.  

Sekalipun tak mendapat jawaban tegas, Ajengan Ilyas merasa lebih tenang karena setidaknya tidak ada larangan dari Ketua Umum PBNU kalau ia terpaksa menerima semua rekayasa itu. 

Dari sudut NU, Konsep Khittah 1926 memang memungkinkan warga NU mendukung selain PPP, tetapi tentu bukan dengan cara dipetakomli seperti yang menimpanya. Dan Ajengan Ilyas saat itu tak punya pilihan selain mengikuti rencana yang sudah dirancang untuknya. Namun ia ingin menunjukkan sikap tak setujunya dengan caranya sendiri. 

Selanjutnya Ajengan Ilyas menunggu hari H tiba. Ia hanya bisa bertawakal kepada Allah agar selamat dari akibat buruk jebakan tersebut. Ia percaya bahwa manusia boleh saja membuat rekadaya, tetapi Allah adalah Pencipta rekadaya yang terbaik.

Sehari sebelum acara, Kamis, 20 Maret 1986, sejumlah fungsionaris Golkar Tasikmalaya datang ke rumah Ajengan Ilyas untuk meminta tanda tangan Maklumat dan Pernyataan Kebulatan Tekad, tetapi Ajengan Ilyas menolak. Orang-orang Golkar itu tidak mau menyerah, secara bergantian mereka menunggui rumah Ajengan Ilyas hingga pagi hari menjelang acara. Ajengan Ilyas tidak mau keluar kamar hingga pagi harinya. Permintaan tanda tangan dimaksudkan agar pernyataan dapat secepatnya digandakan untuk dibagikan kepada tamu undangan yang datang.

Sore harinya, datang pengasuh pesantren Baitul Arqom, Ajengan Ali Imron yang menikah dengan Ido Hamidah, adik kandungnya. Ia datang karena diundang ke acara itu. Adik iparnya itu mendukung agar Ajengan Ilyas tetap di kamar dan tidak mempedulikan tamu yang menunggu tanda tangannya. 

“Pura-pura sakit saja,” katanya. 

‘Perlawanan’ Ajengan Ilyas tak berhenti di situ. Pagi hari menjelang acara, ia tetap tidak mau menandatangani kedua lembar surat itu. Ia menyatakan akan menandatanganinya pada saat acara. 

Pada saat acara tiba, dengan bermalas-malasan dan tubuh lunglai, Ajengan Ilyas maju ke tempat yang sudah disediakan di halaman IAIC. Setelah pulpennya sempat terjatuh, akhirnya ia menandatangani dua surat pernyataan itu. Dan tanpa diduga siapapun, dengan alasan ia kurang sehat, Ajengan Ilyas  menyerahkan pembacaan Maklumat dan Kebulatan Tekad itu kepada seorang dosen IAIC Drs. Nana Ruhana. 

Alumni Cipasung yang hadir rata-rata kaget dan hampir tak percaya dengan kebulatan tekad dan maklumat itu. Alumni yang mengenal dekat Ajengan Ilyas segera menyadari bahwa kiainya itu telah dijebak. 

Sebalikya jajaran Pemda Tasikmalaya dan semua fungsionaris serta simpatisan Golkar bertepuk tangan meriah. 

Keesokan harinya koran-koran menurunkan berita yang seragam, Warga Pesantren Cipasung Menangkan Golkar di Pemilu ’87 (Pikiran Rakyat, Sabtu, 22 Maret 1986), Demi Berkembangnya Syiar Agama Islam Warga Pesantren Cipasung Bertekad Menangkan Golkar (Bandung Pos, Sabtu, 22 Maret 1986), Kebulatan Tekad Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung (menangkan Golkar dalam Pemilu ’87 Almuni Cipasung Sukseskan Pemilu ’87) (Mandala, Sabtu, 22 Maret 1986).

Sabtu sore, 22 Maret, setelah membaca berita di koran, Acep pulang ke Cipasung dengan wajah kusut. Rupanya ia baru saja ‘digarap’ oleh kawan-kawannya sesama aktivis mahasiswa di Bandung. Dalam sebuah diskusi dadakan, Acep dicecar dengan berbagai gugatan atas bergabungnya Cipasung ke Golkar secara mencolok. Acep yang merasa tak punya informasi cukup atas kejadian sebenarnya, hanya bisa menelan pahit semua komentar sinis rekan-rekannya. 

Sesampainya di Cipasung, ia yang ingin meledakkan amarahnya, terpaksa harus menahan diri. Ia menyaksikan semua orang di rumahnya berwajah muram. Apih dan Emih tampak lunglai dan tertekan. Tak ada sinar kebahagiaan di rumahnya sore itu. Peristiwa golkarisasi itu ibarat kiamat kecil di rumah Ajengan Ilyas. Ia tiba-tiba merasa sedih dan cengeng. Sambil memukul-mukul tembok, ia terisak dan berteriak-teriak tertahan, 

“Kenapa masuk Golkar? Kenapa harus Golkar?”

Setelah suasana hatinya lebih terkendali, Acep kemudian meminta penjelasan dari Apih. Dari keterangan itulah Acep mengerti bahwa ada skenario ‘busuk’ yang telah menjebak Apih. Suatu kesadaran menyelinap dalam hati Acep, ternyata tak seorang pun dari saudara Apih yang berdiri di belakangnya untuk memberinya dukungan moral pada saat itu. Acep mulai menyadari bahwa Apih ternyata ‘sendirian’ di Cipasung. 

Ia kini mengerti mengapa Apih meminta dirinya dan adik-adiknya, tinggal di Cipasung setamat kuliah nanti. Apih butuh orang dekat yang mengerti dan siap membantunya. 

Luka perasaan akibat golkarisasi itu cukup lama dirasakan keluarga kecil Ajengan Ilyas. Hampir setahun kemudian kondisi kembali seperti semula. Dalam setiap kesempatan pengajian atau ceramah, Ajengan Ilyas coba menjelaskan kasus itu dari pandangan yang  positif dan optimistik. Ia mengajak jamaah untuk sama-sama berdoa agar Allah memberikan yang terbaik bagi semua pihak, khusunya keluarga besar pesantren Cipasung, alumni, dan masyarakat.

Ada dua hal yang membuat Ajengan Ilyas “tak bisa berkutik” dalam kasus itu, pertama wasiat ayahnya untuk menjaga kekompakan pengurusan pesantren sehingga tidak ada istilah ‘bekas pesantren’ untuk Cipasung. 

Kedua,  menghargai ibunya yang ia khawatirkan akan kecewa jika mendengar ia “memarahi” adik-adiknya. Ketaatan pada Ibunda adalah lebih utama buatnya. Maka pilihan sikapnya ialah berdiam diri dan menahan perasaan kecewanya. 

Di kemudian hari terbukti ia menjadi pemenang dengan sikapnya itu. Masyarakat Cipasung dan publik secara lebih luas, lama-lama terlatih untuk membedakan mana kebijakan yang benar-benar direstuai Ajengan Ilyas dan kebijakan mana yang hanya direkayasa seolah-olah disetujui olehnya, bahkan dengan mencantumkan tanda tangannya baik asli maupun potokopian yang ditempelkan. 

Ia sepenuhnya menyerahkan perkembangan pesantren pada keadilan sejarah dan hukum sosial dari masyarakat, sebab ia menyadari bahwa kedewasaan hanya bisa tumbuh dari kesadaran pribadi.  

Namun ada pula hikmah dari kasus itu, ialah diakuinya keberadaan Ajengan Ilyas dalam pentas politik nasional. Sekalipun dengan cara yang menyakitkan, namanya mulai beredar dan diperhitungkan. Ketika seorang Menko Kesra mau ke Cipasung untuk suatu dukungan yang direkayasa, tentu menunjukkan posisi Ajengan Ilyas secara politis di tingkat nasional. (Iip D. Yahya)