Fragmen

Aksi-aksi Rakyat Surabaya Sepanjang Oktober (1)

Sel, 29 Oktober 2019 | 03:30 WIB

Aksi-aksi Rakyat Surabaya Sepanjang Oktober (1)

Insiden penurunan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya. (Foto: Wikipedia)

Fatwa jihad fi Sabilillah NU dan Resolusi Jihad NU lahir tidak dari ruang kosong. Keduanya lahir dari respons para kiai NU terhadap keadaan bangsanya yang membutuhkan cantolan kekuatan semangat lahir dan batin untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dua bulan sebelumnya diproklamasikan Soekarno dan Hatta.

Pertama, merebut Gedung Kenpetei. Pada awal bulan Oktober, rakyat Surabaya mendengar akan datang tentara Sekutu ke kotanya. Mereka tahu, di dalamnya ada tentara Belanda yang ingin kembali menjajah. Karena itulah rakyat membuat serangkaian aksi untuk menggagalkannya.

Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Semesta di Surabaya 10 November 1945 mengatakan, tepat pada 1 Oktober 1945 rakyat Surabaya mengepung markas Kenpetei yang berada tepat di depan gedung Gubernur.

Mereka yang mengepung berasal dari kampung-kampung padat penduduk seperti Kawatan, Maspati, Dupak, Kandangsapi, tembok, Bubutan, Kapatihann, Paneleh, Plampitan, Pandean, Grogol, Polak, Ngemplak, Sulung, Bibis, Semut, Jagalan, Pengampon, Kranggan, Blauran, Praban, Kebangsren, Genteng, Krembangan, dan Kemayoran.

Menurut Agus Sunyoto, markas tersebut sebelumnya adalah Pengadilan Tinggi, lambang kekuasaan daan kewibawaan penjajah Belanda. Kemudian pada masa Jepang, beralih fungsi  menjadi tempat penyiksaan para pejuang Indonesia.

Dalam usaha mengusai gedung tersebut, BKR dan Polisi Istimewa menjadi negisiator utama dengan tentara Jepang. Karena negosiasi mengalami  kegagalan maka, merebut secara paksa dengan menyerang secara serentak siap-siap dijalankan. BKR dan Polisi Istimewa menyusun taktik penyerangan dengan dengan memutus aliran listrik, air minum, dan semua akses ke gedung tersebut.

Pada tanggal 3 Oktober, gedung tersebut dapat dikuasai rakyat Surabaya. Bendera Jepang diturunkan dan diganti dengan merah putih di Hotel Yamato Surabaya. Dalam aksi perebutan tersebut, gugur 24 orang. Mereka dimakamkan di Taman Bahagia Koesoema Bangsa Surabaya.

Kedua, merebut Maskar Besar Kaigun. Pada tanggal 2 Oktober, ketika sebagian masyarakat Surabaya mengepung Gedung Kenptei, pada saat yang sama, Markas Kaigun di Embong Wungu juga dikepung rakyat yang terdiri dari para pemuda dari kampung-kampung sekitar yaitu Kaliasin, Pregolan, Kedondong, Surabayan, Kedungturi, Genteng, Keputran, Lemah Putro, Kebangsren, Gubeng.
 
Para pemuda itu melakukan pengepungan dipimpin kesatuan-kesatuan BKR, Polisi Istimewa, Hizbullah, PRI, BKR-Pelajar, API, BBI.

Gedung tesebut dapat dikuasai rakyat Surabaya pada hari itu. Kemudian keesokan harinya secara resmi, Laksamana Muda Yaichiro Shibata atas nama Kaigun Saiko Sikikan menyerahkan pangkalan Angkatan Laut kepada Residen Soedirman atas nama Gubernur Jawa Timur.
 
Dengan demikian, Pangkalan Ujung dan Tanjung Perak beserta meriam-meriam pantai sepanjang panta Surabaya-Gresik-Sedayu beserta kapal-kapal perang yang berlabuh di Ujung dan Tanjung Perak dimiliki rakyat Surabaya.

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad