Fragmen

Detik-Detik Reformasi, Soeharto Undang 9 Tokoh, Termasuk Gus Dur dan Cak Nur

Sab, 20 Mei 2023 | 07:00 WIB

Detik-Detik Reformasi, Soeharto Undang 9 Tokoh, Termasuk Gus Dur dan Cak Nur

Gus Dur dan Soeharto dalam sebuah momen. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Demonstrasi kian membesar dan membesar saban harinya pada bulan Mei 1998. Saking begitu banyaknya massa di ibukota, suasana semakin tidak kondusif. Di antara tuntutan massa adalah agar Presiden Soeharto dapat turun dari kursi yang didudukinya selama hampir 32 tahun.


Melihat kondisi yang semakin tidak beres, Presiden Soeharto mengundang Sembilan tokoh pada Selasa, 19 Mei 1998 untuk mendengar pandangan yang mereka kemukakan satu persatu. Sembilan tokoh Muslim tersebut adalah sebagai berikut.

 
  1. KH Ali Yafie, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI);
  2. KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU);
  3. KH Ma’ruf Amin, PBNU;
  4. H Ahmad Bagja, PBNU;
  5. KH Cholil Baidlowi, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII);
  6. H Abdul Malik Fajar, Muhammadiyah;
  7. H Sutrisno Muhdam, Muhammadiyah;
  8. Nurcholish Madjid, Direktur Yayasan Paramadina; dan 
  9. Emha Ainun Nadjib, Budayawan


Pertemuan dilakukan mulai pukul 09.00 WIB hingga 11.32 WIB di Ruang Jepara, Istana Merdeka. Pertemuan ini juga disiarkan langsung melalui televisi. Pertemuan tersebut sedianya dilakukan selama 30 menit saja, tetapi molor hingga 2 jam lebih. Pasalnya, masing-masing tokoh diminta untuk mengungkapkan pandangannya terhadap situasi terkini.


Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan. Dikutip dari Zastrouw (1999), ada tiga kompromi yang diputuskan. Pertama, Soeharto hendak membentuk Komite Reformasi yang bertugas merampungkan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti-Monopoli, dan UU Anti-Korupsi sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota komite ini terdiri atas unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar.


Kedua, ia akan mempercepat pemilu dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden. Ketiga, merombak Kabinet Pembangunan VII dan mengganti namanya dengan Kabinet Reformasi.


Sementara itu, Greg Barton dalam Biografi Gus Dur, menjelaskan bahwa Soeharto memang menginginkan Gus Dur yang kesehatannya tengah menurun itu untuk hadir bersama tokoh-tokoh lainnya. Nurcholish Madjid sempat mengusulkan satu nama lagi untuk hadir pada pertemuan tersebut, yaitu Amien Rais. Akan tetapi, Soeharto menolaknya dengan tegas. Greg menulis, barangkali karena ia masih marah kepada Amien dan mungkin juga karena ia berharap masih dapat mecah belah kaum Muslim yang menentangnya.


Pertemuan tokoh-tokoh Muslim itu, menurut Greg, menandai gagalnya Soeharto memecah suara Muslim. Sebelumnya, Nurcholish bertemu dengan Amien di rumah Malik Fadjar untuk membicarakan pertemuan tersebut. Kesembilan orang ini membentuk suatu Front Bersatu. Semua menolak bergabung dengan Komite Reformasi yang dibentuk Soeharto.


“Anda harus mengakhiri masa kepresidenan Anda dengan anggun dan terhormat, bukan dengan cara Amerika Latin. Janganlah mengulang peristiwa 1965-1966,” kata Nurcholish dikutip Greg dari Schwartz.


Selain mereka menolak untuk duduk di Komite Reformasi, mereka juga menolak untuk berdiri di belakang presiden Soeharto saat konferensi pers.


Soeharto mundur

Bacharuddin Jusuf Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) menceritakan, dalam pertemuan tersebut, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa jabatan presiden bukan hal yang mutlak. Karenanya, ia mengaku tidak masalah jika harus mundur dari kursi kepresidenannya. Namun, ia sendiri sangsi kemundurannya dapat membuat kondisi berangsur membaik. Ia justru khawatir penggantinya juga akan didemo sehingga ia masih bertekad menuntaskan tugasnya sampai benar-benar purna.


Cak Nur, sebagaimana dikutip Habibie, menyampaikan, bahwa Soeharto berkelakar mengaku kapok menjadi presiden. “Saya ini kapok jadi presiden.” Hal itu diungkapkan sampai tiga kali. Namun, menurut Cak Nur, dalam bahasa Jombang, bukan kapok, tetapi lebih kepada tuwuk (kekenyangan).


“Soal mundur tidak menjadi masalah. Namun, yang penting bagaimana bisa mundur tapi konstitusi bisa dilaksanakan. Terus terang saja, tidak menjadi presiden, saya tidak akan pathek-en (penyakitan-pen). Kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari presiden asalkan memberi pengabdian kepada negara dan bangsa,” katanya sebagaimana dikutip dari Zastrouw (1999).


Pada akhirnya, dua hari selepas pertemuan tersebut, Soeharto benar-benar melepas jabatannya yang selama tiga dekade dalam genggamannya.


“Oleh karena itu, dengan memerhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memerhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI Terhitung sejak dibacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.”


Peristiwa itu kini sudah genap 25 tahun, apa yang berubah dari Reformasi selain Soeharto turun dari kursi kepresidenannya?


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad