Fragmen

Prediksi Politik Gus Dur Tahun 1992: Suksesi Soeharto Terjadi pada 1998

Sen, 9 Januari 2023 | 12:00 WIB

Prediksi Politik Gus Dur Tahun 1992: Suksesi Soeharto Terjadi pada 1998

Ilustrasi: suksesi Soeharto pada 1998 telah diprediksi Gus Dur sejak 1992, termasuk siapa yang bakal menjadi wapres Soeharto hasil Pemilu 1992. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Pada pertengahan November 1998, koresponden Time di Jakarta, David Liebhold, mendatangi kediaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, Jakarta Selatan. Jurnalis senior yang menginvestigasi jaringan bisnis keluarga Soeharto dalam laporan bertajuk Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune ini mewawancarai Gus Dur setelah Tragedi Semanggi I. Wawancara Liebhold diterbitkan Time edisi 23 November 1998 berjudul Muslim Leader Gus Dur: If I Run, I Will Win.


Sebelumnya, pada 11-13 November 1998, ruas-ruas jalan utama ibu kota disesaki ribuan mahasiswa dan masyarakat yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Mereka memprotes penunjukan Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto karena dinilai mencederai semangat Reformasi. Habibie dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Orde Baru sehingga layak turut ditumbangkan.


Time, majalah yang bermarkas di New York, menilai Gus Dur sebagai tokoh penting dan paling berpengaruh di Indonesia lantaran Nahdlatul Ulama, organisasi yang dipimpinnya lebih dari satu dasawarsa, diklaim memiliki 20 juta anggota dengan total pengikut sebesar 40 juta. Tak hanya itu, meski tekanan darah tinggi dan penyumbatan peredaran darah membuat Gus Dur hampir buta dan kebanyakan terbaring di tempat tidur, jika ia mampu menyatukan kekuatan dengan “kelompok merah” yang dipimpin Megawati, diyakini mampu menggeser Habibie kapan pun. 


Hanya saja, ini menariknya, ketika Liebhold meminta komentar Gus Dur terkait tuntutan demonstran agar Habibie mundur, justru ia menolak dengan keras. Menurut Gus Dur, melengserkan Habibie sebagai presiden adalah perkara yang tak realistis dan unconstitutional. Bahkan dirinya tidak mau dikaitkan dengan kelompok yang menuntut Habibie lengser. 


“Kami berdua [Gus Dur dan Megawati] menyadari bahwa jabatan kepresidenan adalah masalah jangka panjang. Kita harus berhati-hati agar tidak dikuasai oleh emosi,” kata Gus Dur.


Pernyataan Gus Dur ini sejalan dengan Amien Rais. Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini memberikan dukungan, meski secara terpaksa, kepada Presiden Habibie hingga Sidang Umum MPR 1999. “Habis, mau gimana lagi. Siapa yang mau menggantikan mereka sekarang ini. Ibarat pepatah, tak ada rotan akar pun jadi,” kata Amien Rais di depan media, Senin (9/11/1998). “Tugas Habibie dan anggota DPR/MPR sekarang adalah menyelesaikan Sidang Istimewa MPR, Pemilihan Umum 1999, dan menyelenggarakan Sidang Umum MPR 1999. Setelah itu, rezim Habibie harus turun.”


Gus Dur sendiri meyakini Pemilu 1999 akan berjalan secara bebas dan adil. Menurutnya, negara lain tidak akan membantu Indonesia jika pelaksanaan pemilu berjalan seperti pada zaman Orde Baru. Untuk itu, dirinya berharap agar pemilu dipantau setidaknya 30.000 orang, termasuk unsur perwakilan dari organisasi internasional dan regional. “Tidak mungkin mengadakan pemilihan palsu tanpa terdeteksi,” ujar Gus Dur.


Lalu, berapa lama Habibie bertahan sebagai presiden? tanya Liebhold kepada Gus Dur. Sejak awal, kata Gus Dur, dirinya tidak setuju tentang ide menjadikan Habibie sebagai presiden. Alasannya karena Habibie tidak tahu urusan politik dan itu berarti ada yang “memimpin” di baliknya. Menurutnya, jika situasi tidak bisa dikendalikan, ada dua kemungkinan yang bakal terjadi: Jenderal Wiranto akan mengambil alih kursi kepresidenan atau Habibie tetap tinggal.


Memprediksi Suksesi

Terpilihnya Habibie sebagai wapres hasil Pemilu 1997, yang kemudian naik menggantikan posisi bosnya, serta munculnya wacana suksesi Soeharto pada 1998 telah diprediksi Gus Dur sejak 1992, termasuk siapa yang bakal menjadi wapres Soeharto hasil Pemilu 1992.


Menurut Gus Dur saat itu, wapres mendatang (periode jabatan 1993-1998), dilihat dari segala sudut, akan berasal dari ABRI. Salah satu dasarnya adalah jaringan ABRI juga akan turut mengamankan posisi pada suksesi 1998. Prediksi Gus Dur benar: Try Sutrisno, bekas ajudan Soeharto dan Panglima ABRI 1988-1993, akhirnya yang terpilih sebagai wapres.


Sebelumnya muncul wacana wapres dari kalangan cendekiawan, dan itu ia artikan Habibie, yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hanya saja, menurut pengakuan Gus Dur yang ia dengar dari Soetjipto Wirosardjono, Habibie menolak pinangan menjadi wapres Soeharto.


Majalah Matra edisi Maret 1992 memuat hasil wawancara Muchlis Dj Tolomundu yang mengikuti Gus Dur selama dua hari dalam perjalanan ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kata Gus Dur, terlalu prematur untuk mengatakan suksesi pada Pemilu 1993. “Sebab, suksesi itu baru akan terjadi tahun 1998. Karena pada 1993, jelas–di atas kertas–tidak akan ada suksesi.”


MPR periode 1993-1998, sambung Gus Dur, sebenarnya bukan menjalankan tugas suksesinya an sich, tapi sebagai ancang-ancang, persiapan, menjelang suksesi yang sesungguhnya pada 1998. “Itulah yang menjadikan MPR mendatang ini penting. Ia punya arti sebagai titik tolak penyiapan suksesi. Artinya, suksesi itu berangkat dari Sidang Umum MPR mendatang. Pola-pola penyiapan suksesi, lalu proses pelaksanaan suksesi, secara bertahap dilakukan dalam periode setelah Sidang Umum MPR 1993,” ujar Gus Dur.


Dengan kata lain, Gus Dur ingin bilang jika suksesi terjadi pada 1998, masih ada waktu dan napas lebih panjang untuk memproses munculnya suksesor. Gus Dur memperhitungkan untuk saat itu kekuatan Soeharto masih terlalu kuat. 


“Untuk (pemilu) 1993, kelihatannya Pak Harto pasti jadi, biar tidak disiapkan segala, kata Gus Dur.


Meraba Jago yang Dielus Soeharto

Pertanyaan yang banyak dilontarkan pengamat dan wartawan setelah Soeharto terpilih kembali di Sidang Umum MPR 1993 adalah siapa yang akan menggantikannya sebagai presiden kelak?


Ada banyak analisis, prediksi, hingga spekulasi yang beredar mengenai calon suksesor Soeharto. Bagaimanapun, saat itu Soeharto sudah berumur 72 tahun. Di akhir periode jabatannya pada 1998, ia akan berusia 77 tahun. Usia ini dianggap sudah terlalu uzur untuk seorang presiden dan jika seluruh perangkat rezimnya ingin bertahan, ia mesti mengelus jagonya sendiri.


Salah satu wartawan dan pengamat politik yang punya analisis tajam soal suksesor Soeharto adalah Salim Said. Jurnalis senior majalah Tempo ini menulis analisis politik yang diminta oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung pada 1996. Tulisan ini pada mulanya bersifat personal. Salim kemudian menjadikan analisis tersebut sebagai salah satu bab dalam bukunya yang diterbitkan pada 2013, Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.


Menurut Salim, Soeharto sebenarnya mengajukan Siti Hardianti alias Tutut, anak sulungnya, sebagai jago yang ia elus. Sebagai langkah pertama, Soeharto mengamankan Dewan Pimpinan Pusat Golkar dengan menempatkan Tutut di posisi penting. 


Melalui R. Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat yang sangat loyal kepadanya dan dianggap sebagai representasi “ABRI hijau” (tentara dari kalangan santri), Soeharto juga berusaha mendekati kelompok-kelompok Islam modernis. Pendekatan ini paling tidak bermakna dua hal bagi Soeharto: melepaskan diri dari ketergantungan politik kepada ABRI dan mencuci “dosa” politiknya di masa lalu yang represif terhadap kelompok Islam. 


Kalkulasi politik Soeharto bisa diringkas demikian: ketika DPP Golkar dan para legislatornya di DPR/MPR sudah diamankan, Soeharto tinggal meraup dukungan sosial dari kelompok Islam. Jika kelak ia mundur, Soeharto tinggal meneruskan kekuasaan kepada putri sulungnya yang sudah mendapat sokongan kuat dari kelompok di luar ABRI.


“Bagi yang mengamati tingkah laku politik Soeharto akhir-akhir ini sulit menghindari kesan bahwa yang mempunyai peluang besar menggantikan Soeharto adalah Tutut. Dalam rangka itulah, orang harus melihat langkah-langkah Pak Harto mendorong putri sulungnya terlibat dalam kepemimpinan Golkar,” tulis Salim (hlm. 381-382).


Politikus nasional yang bisa secara jeli membaca langkah politik Soeharto terkait anak sulungnya itu adalah Gus Dur. Paling tidak sejak 1996, Gus Dur kerap membawa Tutut berkeliling dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia mengenalkan Tutut kepada para kiai di beberapa basis NU.


“Dengan terciptanya hubungan kemitraan antara Islam dan ABRI, maka kedua kekuatan utama ini diharapkan oleh Bapak Presiden menjadi soko guru pendukung kepemimpinan Tutut, sebagai pelanjut kekuasaan ayahandanya. Gus Dur tampaknya mengerti strategi Soeharto ini dan menyediakan diri menuntun Tutut berkunjung ke berbagai pondok pesantren,” catat Salim (hlm. 385).


Keakraban Gus Dur dan Tutut memang unik mengingat saat itu Gus Dur merupakan salah satu simbol oposisi terkuat dan semua orang tahu bahwa Soeharto tidak menginginkannya memimpin NU lagi. Hanya dua tahun sebelum safari pesantren itu, kala Gus Dur memenangi Muktamar NU 1994 di Cipasung, Tutut dan Hartono adalah dua orang yang begitu getol ingin menyingkirkan Gus Dur.


“Walaupun Tutut bekerja sama erat dengan Hartono dalam usahanya menggulingkan Gus Dur dua tahun sebelum ini [pada Muktamar Cipasung 1994], ia sekarang sangat ingin rujuk dengan Gus Dur. Tutut sangat ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia seorang yang patut menjadi pewaris kursi kepresidenan,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (hlm. 273).


Kedekatan Gus Dur dengan Tutut adalah salah satu momen politik penting di pengujung kekuasaan Soeharto ketika isu suksesi bukan lagi hal yang tabu dibicarakan. Ini tidak hanya menandakan kejelian Gus Dur dalam membaca situasi, tapi juga menunjukkan betapa perhitungan politiknya bisa melampaui permusuhan masa lalu.


Tidak sampai tiga tahun kemudian, Reformasi membuat perhitungan politik Gus Dur meleset: ia sendiri yang malah jadi presiden.


Penulis: Zunus Muhammad

Editor: Ivan Aulia Ahsan