Fragmen

Dinamika Pembahasan Pancasila di Muktamar NU Tahun 1984

Kam, 2 Juni 2022 | 15:30 WIB

Dinamika Pembahasan Pancasila di Muktamar NU Tahun 1984

Ilustrasi NU dan Pancasila. (Foto: NU Online)

Muktamar ke-27 NU tahun 1984 menjadi tonggak sejarah bagi organisasi para kiai pesantren ini untuk kembali ke Khittah 1926. NU menegaskan diri sebagai Jami’yyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.


Dalam Muktamar tersebut ada tiga komisi, salah satunya adalah komisi khittah yang membahas paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua komisi lain membahas tentang keorganisasian yang dipimpin oleh Drs Zamroni dan komisi AD/ART dipimpin oleh KH Tholhah Mansur. Dengan jumlah anggota rapat komisi yang cukup banyak, mereka membahas secara terpisah di tempat yang berbeda.


Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Gus Dur kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang, KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan dr Muhammad dari Surabaya. 


Dalam buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (KH Husein Muhammad, 2015), Gus Mus mengisahkan bahwa saat itu Gus Dur membuka rapat dengan bertanya kepada anggotanya satu per satu soal pendapatnya tentang hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan pandangannya terhadap satu per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah argumen keagamannya. Gus Dur mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.


Pada dasarnya, Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu Islami,” simpul mereka seperti diungkapkan Gus Mus. 


Usai mereka menjawab, Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu Islami, red) saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno Muktamar?” tanya Gus Dur. Tanpa pikir panjang, mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat ditutup. “Al-Fatihah!” Menurut pengakuan Gus Mus, kala itu Gus Dur tersenyum manis, ya manis sekali.


Lalu Gus Mus memberikan kesaksian, “Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu yang mendasar dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya masing-masing.”


Dalam perhelatan Muktamar yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo itu terpilih Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU dan KH Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam. Kiai Achmad Siddiq ditunjuk langsung sebagai Rais ‘Aam oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (selaku Ahlul Halli wal Aqdi). Penunjukkan Kiai As’ad disepakati oleh berbagai pihak.


Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan fondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq menyampaikan sebuah pidato. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:


“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.”


Selain informasi sejarah terkait Muktamar NU 1984 tersebut, penting juga diungkapkan bahwa sebelumnya yaitu tahun 1983 para kiai menyelenggarakan Munas Alim Ulama NU di tempat yang sama, Situbondo. Dalam pertemuan setahun menjelang Muktamar itu, sejumlah kiai berhasil merumuskan 5 poin deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam, sebagai berikut:


Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam


Bismillahirrahmanirrahim

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.


2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.


3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.


4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.


5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama


Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983


(Fathoni)