Fragmen

Falsafah Keberislaman Orang Maluku

Rab, 21 Agustus 2019 | 10:30 WIB

Falsafah Keberislaman Orang Maluku

Ilustrasi Islam di Maluku. (via Komunitas Rempah)

Jafar Shadiq, tercatat dalam hikayat Naidah, sebagai orang Arab pertama yang berkunjung ke Ternate, Maluku Utara. Dia disebut-sebut sebagai bapak dari empat kesultanan yang ada di Maluku Utara yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
 
Masyarakat Ternate dan sekitarnya meyakini bahwa Jafar Shadiq dulunya nikah dengan permainsuri asal kahyangan. Dari perkawinan mereka lahir empat saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Keempat saudara laki-laki inilah yang akan menjadi pemimpin (sultan) di Maluku Utara.

Sampai detik ini, belum ada penelusuran sejarah yang jelas, terkait siapa sebenarnya Jafar Shadiq. Ada yang mengatakan dia dari Arab atau Persi, dan ada pula yang berpendapat bahwa dia diutus oleh kekhalifahan Abbasyiah untuk menyiarkan agama Islam ke wilayah timur Indonesia.

Hal ini mengingatkan saya pada fase pertama di kirimnya para ulama, yakni rombongan Syekh Subakir, Syekh Jumadil Kubro dan lain-lain ke tanah Jawa, mungkin juga sekaligus dengan Jafar Shadiq ini. Tapi di Jawa ada sunan yang bernama Jafar Shadiq yakni Sunan Kudus. Apakah Jafar Shadiq yang menyiarkan Islam di Maluku adalah Sunan Kudus? Hal ini masih menjadi tanda tanya besar.

Adnan Amal dalam bukunya berjudul Kepulauan Rempah-rempah mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku Utara sudah ada sejak abad 1250 Masehi, empat puluh tiga tahun sebelum Majapahit berdiri. Awalnya, kerajaan di Maluku Utara di pimpin oleh seorang kolano yang berarti sama dengan raja.

Setelah masuknya Islam ke Maluku Utara barulah ada perubahan struktur pemerintahan kerajaan menjadi kesultanan dengan gelar kolano diganti menjadi sultan. Meski ada sedikit perubahan dalam struktur pemerintahan, namun ritual serta nilai-nilai adat masih tetap dilestarikan sampai detik ini.

Syair-syair adat seperti jousengofangare mengandung makna filosofi yang sangat dalam, kalau bukan dikatakan bahwa masyarakat setempat sudah mengenal ajaran tarekat jauh sebelum masyarakat terpapar syariat Islam. Syair itu bermakna pertalian hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Syair ini sudah menjadi falsafah hidup masyarakat setempat.

Barulah setelah Islam masuk, maka lahirlah syair adat matoto agama, agama matotokitabullah, kitabullah matotoJouta'ala (adat bersendikan agama, agama bersendikan kitabullah, kitab Allah bersendikan Allah SWT). Syair ini persis sama dengan yang ada di Padang yakni adat basandi syara, syara basandi kitabullah.

Lagi-lagi, falsafah hidup itu sudah ada jauh sebelum masyarakat terpapar syariat Islam. Sebab itu, kedatangan Jafar Shadiq ke Maluku Utara bukan untuk menyiarkan agama Islam lagi, melainkan mempertegas nilai-nilai Islam yang sudah terpatri di dalam sanubari masyarakat setempat. Inilah dakwah paling indah jika pendakwah memahami struktur berpikir masyarakat setempat.

Di Maluku, Maluku Utara, dan sekitarnya, keharmonisan adat dan agama sangat indah sekali. Jika di Maluku Utara ada syair-syair tersebut di atas, maka di Maluku ada pertautan nilai antara bangunan masjid dan rumah baileo (rumah adat). Setiap bangunan masjid pasti bersebelahan dengan baileo.

Bahkan tidak hanya masjid, gereja pun ada baileo-nya. Hal ini sebagai penegasan bahwa antara adat dan agama sudah saling terpaut. Oleh sebab itu, jika ada pihak yang berhaluan dengan adat maka sama halnya dia sedang berhadapan dengan agama, begitu pun sebaliknya. Sekian.

 
Penulis: Muhammad Kashai Ramadhani Pelupessy, sedang menempuh Program Magister di UNY, lahir di Tidore
 
Editor: Fathoni Ahmad