Fragmen

Gus Dur dan Kuliner Rakyat di Meja Rapat Kabinet

Sen, 29 April 2019 | 12:15 WIB

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan sosok yang dekat dengan siapa saja dan dari golongan mana saja. Baik ketika dia belum menjadi Presiden ke-4 RI maupun setelah menjabat Presiden dan menempati Istana Negara yang dinamakannya sebagai Istana Rakyat. Pola kehidupan istana pun berubah. Sakralitas yang selama ini melekat pada diri Bina Graha berubah menjadi egaliter dan merakyat.

Suasana merakyat terlihat ketika Gus Dur mulai bosan dengan menu istana. Ia menginginkan kuliner khas rakyat menghiasi meja rapat kabinet. Kegemaran menyantap kuliner rakyat memang lekat dengan Gus Dur. Bahkan saat ia bepergian ke suatu tempat, ia paham tempat makan yang enak dan khas daerah tersebut.

Hal itu dicatat oleh Muhammad AS Hikam dalam Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) bahwa hobi menyantap kuliner rakyat masih tetap menjadi tradisi Gus Dur ketika dirinya menjabat sebagai Presiden RI. Hal ini muncul seiring dengan perasaan bosan orang-orang di istana untuk menyantap masakan dan menu resmi dari Bina Graha.

Maka, gorengan dipesan dari luar Kantor Kepresidenan. Pemandangan eksotik pun terlihat ketika gorengan bersanding dengan air mineral prestisius ‘Equil’ di meja rapat kabinet.

Tak jarang Gus Dur juga melakukan wisata kuliner. Teman-teman dekatnya sendiri sampai terheran-heran dengan tingkat variasi pemahaman Gus Dur tentang jenis kuliner sekaligus lokasi makanan istimewa dan terkenal lezatnya.

Karakternya yang membumi membuat Gus Dur tidak pernah mempedulikan di mana tempatnya, baik itu warteg maupun hotel bintang lima sekali pun. Yang jelas, Gus Dur paham kesitimewaan masakan yang disediakan di tempat tersebut.

Beberapa tempat kuliner istimewa Gus Dur yang diungkap AS Hikam di antaranya gulai kepala ikan ala Aceh di Restoran Delima di Kramat Sentiong Jakarta Pusat, warung kecil di Klari Purwakarta, warung ikan mas di Walahar, restoran padang di Malang, rawon Nguling Pasuruan, dan tempat kuliner lainnya.

Kuliner rakyat ini sejurus dengan karakter Gus Dur yang egaliter dan merakyat. Meskipun menjabat orang nomor satu di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Istana Negara, kuliner rakyat tetap menjadi santapan di meja Gus Dur. 

Hal itu terlihat ketika Gus Dur sudah berada di meja kerjanya di Kantor PBNU lawas. Kuliner rakyat berupa ‘gorengan’ selalu siap di mejanya. Gorengan yang terdiri dari singkong, tahu, tempe, bakwan seolah menjadi menu utama di ruang kerja Gus Dur.

Penjual gorengan tersebut mangkal di depan Gedung PBNU yang saat itu terdiri hanya dua lantai. Selain penjual gorengan, juga ada rujak buah, ketoprak, tongseng, siomay, soto mi, gado-gado, mi rebus, dan lain-lain.

Hingga saat ini pun, para penjual kuliner rakyat tersebut masih mengais rezeki di sekitar Gedung PBNU. Namun, persoalan penertiban pedagang kerap melanda mereka. Sehingga mereka pun kerap harus minggir terlebih dahulu.

Pernah suatu ketika para pedagang tersebut mendapat penertiban dari petugas. Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU melindungi mereka dan pasang badan supaya para penjual kuliner rakyat itu tetap bisa berjualan di sekitar Gedung PBNU. (Fathoni)