Fragmen

Politik Damai Suksesi Abu Bakar Pasca Kepemimpinan Rasulullah

Sab, 17 Februari 2024 | 08:00 WIB

Politik Damai Suksesi Abu Bakar Pasca Kepemimpinan Rasulullah

Ilustrasi: Abu Bakar ash-Shiddiq (NU Online).

Politik bukan hal baru dalam percaturan kehidupan manusia, termasuk dalam sejarah panjang umat Islam. Ada banyak hal yang bisa diambil dari jalannya percaturan politik dalam sejarah umat Islam. Termasuk di antaranya pesan damai yang dapat diambil dari kisah pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah.

 

Abu Bakar menjadi khalifah pertama yang menjabat pasca wafatnya Rasulullah saw. Dalam penunjukannya sebagai khalifah, sempat terjadi bersitegang antar sahabat Nabi. Sebelum kemudian umat Islam akhirnya sepakat untuk membaiat Abu Bakar. 

 

Abu Bakar, dipilih lewat jalur demokrasi tepat pada hari wafatnya Rasulullah saw. Hal tersebut disebabkan Nabi Muhammad saw sendiri tidak memberi penjelasan siapa yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan beliau.

 

Pada saat proses pemilihan, mulanya kaum Anshar, mengadakan pertemuan khusus di Tsaqifah Bani Saidah untuk membahas keberlanjutan kepemimpinan umat Islam tanpa memberi tahu kaum Muhajirin. Mereka mengadakan musyawarah secara tertutup untuk memilih pemimpin umat Islam.

 

Kaum Muhajirin dipimpin oleh Umar bin Khattab yang mendengar kabar tersebut bergegas menuju Abu Bakar dan membawanya menuju Tsaqifah Bani Saidah, tempat di mana musyawarah kaum Anshar dilakukan. 

 

Musyawarah yang dilakukan kaum Anshar di Tsaqifah Bani Saidah menghasilkan keputusan akan mengangkat Saad bin Ubadah sebagai khalifah. 

 

Sempat terjadi ketegangan di antara kedua kelompok. Kaum Muhajirin yang diwakili oleh Umar bin Khattab menawarkan Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah. Namun kaum Anshar selaku penduduk asli Madinah menginginkan dari kelompok mereka menjadi pemimpin. Kaum Anshar sempat mengusulkan adanya dualisme kepemimpinan dalam Islam.

 

“Wahai kaum Muhajirin, sungguh ketika Rasulullah saw mempekerjakan seorang laki-laki dari kalian, ia juga menyertakan seorang dari kami. Maka untuk persoalan ini ada baiknya ditunjuk dua orang dari kami dan kalian”, ucap salah seorang sahabat Anshar.

 

Menanggapi hal tersebut, banyak dari kaum Anshar bersorak dan menyetujuinya. Hingga kemudian Zaid bin Tsabit, yang termasuk bagian dari kaum Anshar berkata:
 


“Apakah kalian tahu, bahwa Rasulullah saw itu dari kaum Muhajirin dan maka penggantinya pun dari Muhajirin. Kita adalah Ansharu Rasulillah (pembela utusan Allah) maka biarlah kita menjadi Ansharu Khalifatihi (pembela khalifahnya), sama seperti kita membelanya”.

 

Zaid bin Tsabit menggandeng tangan Abu Bakar dan berkata: “Ini adalah sahabat kalian”. Abu Bakar kemudian dibaiat oleh Umar, diikuti seluruh kaum Muhajirin dan Anshar. (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah: 2011], halaman 62).

 

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Umar bin Khattab lah yang membujuk kaum Anshar untuk membaiat Abu Bakar As-Shiddiq dan menolak dualisme kepemimpinan. 
 


“An-Nasai, Abu Ya’la, dan Al-Hakim (ia menshahihkannya) meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud berkata: “pasca wafatnya baginda Rasulullah saw, kaum Anshar berkata: “dari kami pemimpin dan dari kalian pula pemimpin”. 

 

Umar bin Khattab mendatangi mereka dan berkata: “Wahai kaum Anshar, bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat?. Siapa dari kalian yang merasa pantas melangkahi Abu Bakar?.
 

 

Kaum Anshar kemudian berkata: “Kami berlindung kepada Allah dari melangkahi Abu Bakar.” (As-Suyuthi, halaman 62).

 

Musyawarah pemilu tersebut kemudian menghasilkan keputusan pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah. Abu Bakar dibaiat secara terbatas di Tsaqifah Bani Saidah, sebelum kemudian pada hari berikutnya ia dibaiat secara umum.

 

Dalam pidatonya, Abu Bakar memberikan contoh terbaik seorang pemimpin. Ia berpesan kepada masyarakat untuk selalu gotong-royong dan mengingatkan pemerintahannya jika terdapat luput dan salah. 

 

Berikut adalah isi pidato Abu Bakar saat pembaiatan umum:

 

“Wahai masyarakat sekalian, sungguh aku diberi amanat memimpin sedang aku bukan yang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik (dalam masa pemerintahanku) maka tolong dan bantulah aku. Jika aku berbuat kesalahan maka kritik dan ingatkanlah aku.

 

Kejujuran adalah amanah dan kebohongan adalah khianat. Yang lemah dari kalian adalah kuat di sisiku, sehingga aku akan memenuhi haknya insyaAllah. Sedang yang kuat dari kalian adalah lemah sehingga aku ambil hak darinya insyaAllah.

 

Tidaklah suatu kaum meninggalkan berjuang di jalan Allah kecuali ia akan dihinakah oleh-Nya. Tidaklah (pula) kalian menyebarkan keburukan di suatu kaum kecuali Allah akan meratakannya dengan bencana. 

 

Taatlah kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan rasul-Nya. Jika aku menyimpang dari jalan Allah dan rasul-Nya maka tidak ada taat kalian atasku. Dirikanlah shalat maka Allah akan merahmati kalian” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, [Beirut: Darul Fikr], juz VI, halaman 301).

 

Ada banyak hikmah yang dapat diambil dari peristiwa di atas dalam konteks pemilu, di antaranya:

  1.  Peristiwa pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah di atas dapat menjadi contoh konkrit pemilu damai di masa sekarang. Bagaimana sahabat Anshar dengan hati yang lapang menerima pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah terpilih. Meski sebelumnya sempat mengusulkan adanya dualisme kepemimpinan dengan hendak mengangkat Saad bin Ubadah.
  2.  Sahabat Anshar menjadi contoh bagaimana pihak yang kalah dalam pemilihan menerima keputusan dan menaati pemerintahan yang sah di bawah pimpinan terpilih. 
  3. Sedangkan Abu Bakar dapat menjadi contoh dari pihak yang memenangkan pemilu. Tidak menyombongkan diri setelah menang malah justru takut dengan tanggung jawab pemimpin. Menerima kritikan dan masukan dari rakyatnya. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni PP Khas Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly
Saidussidiqiyah Jakarta.