Fragmen

Gus Dur, Sosok yang Lekat dengan Kendaraan Umum

Kam, 31 Desember 2020 | 09:30 WIB

Gus Dur, Sosok yang Lekat dengan Kendaraan Umum

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Menggunakan kendaraan umum merupakan pemandangan sehari-hari masyarakat untuk menjalankan aktivitasnya. Bahkan hingga kini. Namun, image atau citra kendaraan umum hampir pasti kurang atau tidak melekat pada diri seseorang yang memiliki jabatan penting, baik di pemerintahan maupun di tengah-tengah masyarakat.


Tetapi tidak demikian dengan sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pemimpin besar yang wafat pada 30 Desember 2009 silam ini lekat dengan kendaraan umum. Bahkan ketika dirinya menakhodai organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ketua Umum (1984-1999).


Sebelumnya, sepulang dari belajarnya di Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Baghdad, dan pengembaraan ilmunya di Eropa pada akhir tahun 1970-an, Gus Dur lebih banyak bergelut di Pesantren Tebuireng untuk mengajar dan menulis berbagai artikel ilmiah, opini, kolom, dan esai.

 


Walaupun kala itu tinggal jauh dari pusat pemerintahan Jakarta, tapi khalayak luas mulai mengenal Gus Dur lewat tulisan-tulisan cemerlangnya di berbagai media massa. Selain itu, Gus Dur aktif sebagai peneliti dan sosok yang mempunyai perhatian luas terhadap seni dan sastra.


Tetapi, Gus Dur tetaplah Gus Dur. Meskipun dipilih oleh para kiai sepuh untuk memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ia tidak mengubah gaya hidupnya yang penuh dengan kesederhanaan, santai, akrab, dan bersahabat dengan siapa saja. Seolah tak ada yang berubah darinya walaupun jabatan pimpinan tertinggi tanfidziyah organisasi para ulama diembannya.


Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mengisahkan, jika Gus Dur butuh mengomunikasikan berbagai idenya kepada para kiai dan sejawat lainnya di berbagai tempat, ia jalani sendiri. Misal ketika menemui KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) di Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Gus Dur ke sana sendiri dengan menggunakan bus umum.

 


Sewaktu Gus Dur diundang lokakarya di sebuah pesantren di Cilacap, Jawa Tengah juga menggunakan bus saja. Setelah di terminal, lalu ia menyambung dengan angkot dan kemudian dilanjutkan dengan naik becak. Dia datang dengan membawa segepok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya.

 

Itu masih mending. Suatu hari, di tahun 1985, Gus Dur mengunjungi sahabatnya, KH Muhammad Jinan di Gunung Balak Lampung. Setelah naik bus Jakarta-Lampung, lalu naik angkot, ia meneruskan dengan berjalan kaki sepanjang empat kilometer. Jalan menuju pesantren memang hanya setapak.


Kisah kesederhanaan Gus Dur juga diceritakan oleh KH Husein Muhammad dalam bukunya Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015). Sifat kezuhudan Gus Dur bagi Kiai Husein merupakan wujud nyata atas kedalaman ilmu Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu Kiai Husein sendiri menjuluki Gus Dur sebagai Sang Zahid, manusia dengan sifat zuhud yang tinggi.

 


Pengembaraan Gus Dur dalam menyelami setiap detak kehidupan menjadi alasan untuk meraup sebanyak-banyaknya hikmah sehingga dia tidak peduli dengan identitas sosialnya ketika harus berjejal dengan masyarakat umum di bus atau angkutan kota (angkot).


Diceritakan oleh Gus Mus dan Fahmi Dja’far Saifuddin, Gus Dur sering naik bus berjejal-jejalan atau angkot dengan berdesak-desakkan ketika berangkat ke Kantor PBNU dari rumah kontrakannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Pun demikian pulangnya.


Terlihat meskipun Gus Dur seseorang yang dianggap penting, tetapi dia tidak mau menjadi sosok di menara gading yang sama sekali tidak mengetahui denyut kehidupan masyarakat di bawah. Bekal jiwa egaliternya ini menjadi asupan yang sangat berharga ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia secara demokratis.


Dengan wawasannya yang luas, pengetahuannya yang tinggi, sikapnya yang mengayomi semua, dan keteguhan prinsipnya akan kebinekaan bangsa Indonesia, ia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan yang denyutnya makin kuat hingga sekarang, meski anasir-anasir kebencian hingga kini tetap ada dan menjadi tantangan serius dalam kehidupan berbangsa.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon