Fragmen

Kala Dua Pembesar Ormas Islam Terbesar Saling Mengimami Shalat Subuh

Sab, 20 Maret 2021 | 01:15 WIB

Kala Dua Pembesar Ormas Islam Terbesar Saling Mengimami Shalat Subuh

NU dan Muhammadiyah. (Foto: NU Online)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984 KH Idham Chalid satu kapal dengan tokoh Muhammadiyah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam perjalanan haji.


Kiai Idham dan Buya HAMKA secara bergantian mengimami shalat di Kapal dalam perjalanan tersebut. Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing.


Bagi kalangan Nahdliyin, qunut diyakini sebagai sunnah haiat dalam shalat Subuh. Pasalnya, mayoritas warga NU, termasuk Kiai Idham, merupakan penganut mazhab Syafi'i.


Sebagaimana diketahui, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i dan ulama yang mengikuti pendapatnya berpandangan bahwa qunut bukan sekadar sunnah biasa, melainkan sangat dianjurkan. Bahkan, kalau ditinggal atau tertinggal, sengaja ataupun lupa, maka disunnahkan sujud sahwi bagi orang tersebut.


Sebaliknya, kalangan Muhammadiyah tidak memandang qunut sebagai suatu sunnah dalam shalat Subuh. Artinya, mereka pada umumnya tidak melakukannya dalam shalat dua rakaat di waktu pagi itu.


Namun, Subuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya.


Pun Buya Hamka. Saat didapuk menjadi imam, ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut.


Kedua ulama itu tidak lain menerapkan akhlakul karimah. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada 'perang dalil' yang menuntut keabsahan, menilai diri paling benar dan menuduh pandangan orang lain yang berbeda salah.


Pengetahuan keduanya tidak ada yang meragukan. Sederet karya dan jabatan yang pernah diamanahkan kepada mereka menjadi pembuktiannya. Justru, dengan banyaknya bacaan yang telah mereka serap dan keluasan pengetahuannya menjadikan mereka lebih 'arif dalam menyikapi perbedaan.


Pengetahuan mereka telah mendarah daging, serta meresap dalam hati. Hal tersebut tidak hanya keluar dalam dimensi wacana, melainkan mewujud dalam sikap.


Sebagaimana diketahui, di antara empat mazhab, ada juga yang berpandangan bahwa qunut bukanlah bagian dari sunnah dalam shalat Subuh, yakni Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit atau dikenal sebagai Imam Hanafi. Sikap Kiai Idham tersebut dilandasi atas kisah Imam Syafi'i yang tidak berqunut kala shalat Subuh di Masjid Imam Hanafi.


Kisah Kiai Idham dan Buya Hamka dalam menyikapi perbedaan tersebut memberikan beberapa pelajaran penting bagi Muslim agar tidak perlu kaku dalam beragama. Semua berhak memilih mazhab yang diyakini.


Lebih dari itu, satu hal yang perlu didahulukan adalah adab atau akhlak. Kita tentu masih ingat sebuah kalimat penting yang selalu ditempel di sekolah, yakni 'Adab itu di atas ilmu'.


Dalam menyikapi perbedaan, dua pembesar organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia itu memiliki hati yang besar. Kita yang kecil, bagaimana?


Muhammad Syakir NF, alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon