Fragmen

KH Mohamad Muqri, Tokoh Penyebar Agama Islam di Banyumas

NU Online  ·  Kamis, 3 Mei 2018 | 16:00 WIB

KH Mohamad Muqri, Tokoh Penyebar Agama Islam di Banyumas

KH Mukhosis Nur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Banyumas

Jauh sebelum tahun 1346 H / 1925 M di salah satu wilayah  di Kabupaten Banyumas bagian selatan berdiri sebuah mushalla kecil yang menjadi sentral pendidikan dan penyebaran Agama Islam, tepatnya di Desa Sirau Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas. 

Tokoh dibalik berdirinya mushalla tersebut ialah KH Mohamad Muqri atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Muqri. Dia adalah putra ke 3 dari 5 bersaudara yang semuanya perempuan keturunan KH Muhammad Nur yang merupakan salah satu dari pasukan inti Pangeran Diponegoro. Sebagai pasukan inti Pangeran Diponegoro, selepas wafat makam KH Mohamad Nur tidak diperkenankan untuk banyak diketahui banyak orang.

Sebagai anak laki-laki tertua dari mendiang sang pejuang kemerdekaan, hal itu sangatlah berpengaruh besar terhadap ide-ide dan arah perjuangan Mbah Muqri dalam meneruskan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan yang rahmatan lil'alamiin

Desa Sirau Kecamatan Kemranjen menjadi kawah candradimuka pertama bagi KH Mohamad Muqri dalam menyebarkan ajaran islam. Sebuah wilayah yang masih antah brantah, dikelilingi rawa-rawa dan dipenuhi semak belukar serta terdapat banyak binatang buas menjadi instrumen yang menghiasi Desa. 

Bukan hanya itu, secara mistis Desa Sirau juga tempat yang terkenal angker, banyak dedemit dan mahluk halus banyak bersarang di desa itu, sehingga tempat tersebut yang sangat jauh dari rasa nyaman bagi ukuran masyarakat agamis. 

Kondisi sosial masyarakat pun saat itu begitu jauh dari yang namanya agama, mereka bermasyarakat dengan semaunya sendiri, praktik (Molimo) main, madat, madon, minum, maling menjadi hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat saat itu, bahkan melakukan ritual hitam santet menjadi hal yang lumrah pada saat itu. 

Ditempat itulah, KH Mohamad Muqri melalukan babat alas Desa Sirau untuk sebuah tugas yang mulia. Trukah untuk sebuah nilai yang beliau yakini sebagai ajang terpilih akhir zaman, ajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW, Agama Islam yang rahmatan lil'alamiin. 

Secara geografis Desa Sirau berada di wilayah selatan Kabupaten Banyumas, dan merupakan palang pintu dua Kabupaten besar, Kabupaten Banyumas dan Cilacap. 

KH Mohamad Muqri berdakwah dengan metode Ibda' binafsi (memulai dari diri sendiri) tidak menggunakan kekerasan ataupun melawan arus masyarakat yang ada waktu itu, tanpa melarang, tanpa melawan. 

Beliau mempraktikan agamanya bukan dengan cara tidak menggurui, tetapi dengan melakukan hubungan silaturahim, cara bertutur kata, bertutur sapa, menghargai dan menghormati tetangganya serta menganggap mereka sebagai bagian dari keluarganya. 

Hal tersebut tentunya membuat KH Mohamad Muqri tak segan untuk memberikan masukan jikalau salah satu dari mereka ada yang melanggar norma sosial ataupun menyalahi aturan agama. Bukan hanya yang bersifat moril, tetapi juga berisifat materi, KH Mohamad Muqri pun tak segan untuk membantu masyarakat yang sedang dalam kondisi  kekurangan. 

Waktu demi waktu berlalu, KH Mohamad Muqri merasa perlu adanya sebuah tempat beribadah yang sekaligus difungsikan sebagai tempat berkumpul (Bhs Banyumas : Juguran) untuk melaksanakan pengajian. 

Dengan dana swadaya dan pribadi, KH Mohamad Muqri lalu mendirikan sebuah mushalla kecil sebagai tempat ibadah sekaligus mulai meyelenggarakan pengajian terbatas untuk keluarganya. Pengajian yang disampaikan beliau adalah kitab-kitab kuning dan pengajian umum dengan metode tradisional. 

Lambat laun seiring perjalanan waktu, masyarakat sekitar mulai tertarik dengan cara bermasyarakat KH Mohamad Muqri, banyak dari mereka yang mulai mengikuti kegiatan pengajian yang sudah terjadwal, namun karena kondisi masyarakat Sirau yang lebih banyak bermatapencaharian sebagai petani, jadwal pengajian pun disesuaikan dengan jam kerja petani. 

Perkembangan selanjutnya, Mushalla kecil di Desa Siru Kecamatan Kemranjen itu berubah menjadi sentral pendidikan agama islam. Dalam putaran waktu yang hadir, jumlah yang mengikuti pengajian terus bertambah, bahkan banyak dari orang luar desa yang mulai berminat menimba ilmu kepada Mbah Muqri. 

Bertambahnya masyarakat dari luar desa yang ingin mengikuti pengajian Mbah Muqri, menyebabkan mushola kecil yang ada sudah tidak lagi kuat menampung banyaknya jama'ah. Sehingga pada tahun 1346 H/1925 H dibuatlah gotakan (kamar-kamar kecil) sederhana di sebelah utara mushalla untuk menampung banyaknya jama'ah. 

Dari gotakan sederhana kecil itulah kini berdiri sebuah pusat pendidikan agama islam bernama Pesantren Raudlotut Thalibin Sirau yang kini diasuh KH Mukhosis Nur salah satu keturunan KH Mohamad Muqri, dan mushalla kecil itu kini bermetamorfosis menjadi sebuah masjid besar bernama Masjid Al-Huda. Kini, ratusan santri banyak yang menimba ilmu pesantren Raudlotut Thalibin Sirau tersebut.  (Kifayatul Ahyar)

*Diolah dari berbagai sumber yang relevan