Fragmen

KH Wahid Hasyim dan 1.000 Bait Kitab Alfiyah

Sen, 20 April 2020 | 18:30 WIB

KH Wahid Hasyim dan 1.000 Bait Kitab Alfiyah

KH Abdul Wahid Hasyim. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

Kitab Alfiyah Ibnu Malik berbentuk pantun setebal 1.000 bait tentang segala serba-serbi nahwu-shorof dalam bahasa Arab. Biasanya, bait-bait Alfiyah dibaca sambil diiringi irama-irama tertentu. Irama-irama didendangkan sebagai bagian dari cara atau metode pesantren agar ribuan bait Alfiyah dapat mudah dihafal oleh santri.

Para penghafal kitab Alfiyah ini tidak sedikit, karena kitab grammar dalam bahasa Arab ini harus mampu dikuasai dan dipahami santri sebagai modal penting membaca kitab serta memahami bahasa dan sastra Arab.

Salah seorang ulama dan negarawan yang dimiliki Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu santri dan juga kiai yang hafal ribuan bait kitab Alfiyah.

Bahkan menurut kesaksian sahabat karibnya, KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001: 89), KH Wahid Hasyim bersama KH Mohammad Ilyas ketika dahulu masih sama-sama menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng asuhan KH Hasyim Asy’ari, bukan hanya hafal seluruh bait Alfiyah dengan arti dan maknanya, tetapi juga mahir menghafalnya dari halaman belakang ke halaman depan (muka).

Menurut KH Saifuddin Zuhri dan kebanyakan santri, menghafal dari halaman depan lalu ke halaman belakang saja subhanallah sulitnya, apalagi menghafal dari belakang ke muka. Hal ini menunjukkan kecerdasan yang kuta dari seorang KH Wahid Hasyim. Intelektualisme yang dinamis tersebut diterapkan oleh Kiai Wahid dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu briliannya KH Wahid Hasyim saat membantu menyusun sila-sila dalam Pancasila yang digagas Soekarno pada 1 Juni 1945. Jika balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945, misi yang dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas.

Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.

Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. 

Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.

Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, 2010: 91).
 
Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini.

Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.

Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi