Fragmen BULAN GUS DUR

Kiai Sahal dan Gus Dur: Hubungan Erat Kajen-Tebuireng

Ahad, 13 Desember 2020 | 05:05 WIB

Kiai Sahal dan Gus Dur: Hubungan Erat Kajen-Tebuireng

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Bulan Desember, saya lihat di beranda-beranda banyak yang menyebut dengan Bulan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Bisa jadi ini dikaitkan dengan hari wafatnya yang bertepatan dengan bulan Desember. Ingatan saya kemudian melayang mundur teringat saat masih berada di Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah.


Waktu itu, setelah shalat maghrib, Kang Haji Sumar langsung memarkir mobil sedan Accord berplat H 7997 JH dan saya menyiapkan sandal yang biasa di pakai KH Sahal Mahfudh bepergian di depan pintu, kami bersiap diri untuk "ndereke" (menyertai) Abah Kiai Sahal memenuhi undangan Bupati Pati, Bapak Tasiman di Rumah dinas Pendopo Kabupaten Pati.


Dalam perjalanan, saya di kejutkan oleh sms dari Bapak Marwan Jakfar anggota DPR RI Fraksi PKB perihal kabar "kapundutnya" (wafatnya) Gus Dur supaya segera di-aturke (disampaikan) kepada Kiai Sahal. Sepontan kemudian saya sampaikan kepada Kiai Sahal perihal kabar tersebut. 


Mendengar itu, beliau terkejut dan syok seakan tak percaya dan "ngersake" (menghendaki) agar saya menelpon Bapak Marwan untuk memastikan kabar tersebut secara langsung. Tidak berlama-lama, saya langsung telpon Bapak Marwan untuk memastikan kembali sms atau pesan messenger itu.


Gus Dur memang belum lama bersama Mbak Yeni datang ke Kajen untuk menemui Kiai Sahal dan keluarga. Setelah lama tidak berkunjung ke Kajen, terakhir Gus Dur ke Kajen adalah saat menghadiri resepsi pernikahan Gus Rozin, Putra Kiai Sahal. Rupanya pertemuan itu adalah pamitan Gus Dur kepada Kiai Sahal yang masih terhitung pamannya.


Kepada Bapak Marwan, saya juga diminta untuk menanyakan rencana pemakaman Gus Dur nanti akan di "sareake" (disemayamkan) di mana, dan jika memungkinkan agar Bapak Marwan menemui pihak keluarga, mengusulkan supaya Gus Dur sebaiknya disemayamkan di Jombang saja, sebab di sana banyak santri dengan begitu akan selalu diziarahi banyak orang.


Kiai Sahal kemudian meminta "kundur" (pulang) tidak melanjutkan perjalanan. Saya kemudian menelpon ajudan Bapak Bupati Tasiman menyampaikan permohonan maaf tidak bisa memenuhi undangan karena adanya berita duka itu dan Bapak Bupati memaklumi.


Setelah sampai di kediaman dan ada kepastian di mana Gus Dur akan disemayamkan, Abah Kiai Sahal dan Ibu Nyai bersiap diri untuk melakukan perjalanan dalam rangka takziah ke Jombang, saya menyiapkan perlengkapan kebutuhan Kiai Sahal dan barang-barang yang harus dibawa, tapi nyatanya kesehatan Kiai Sahal berangsur menurun ngedrop akibat menanggung perasaan sedih yang mendalam. Saya menelpon dr Imron, dokter keluarga kiai untuk mengecek kesehatan Kiai Sahal. Ibu tindak takziah malam itu juga. 


Semalam suntuk Kiai Sahal tidak bisa tidur, sesekali saya intip dari pintu kamar, tapi belum juga tidur. Seperti gelisah, entah apa yang dipikirkan atau bayangannya menerawang ke mana, akhirnya saya masuk menemani di dalam kamar sambil tiduran di permadani. Saya perhatikan beliau masih juga belum bisa tidur. Esoknya, pagi-pagi saya telepon dr Imron minta untuk memeriksa kembali kondisi Kiai Sahal.


Sementara itu, semua televisi tertuju menayangkan proses pemakaman Gus Dur di Tebuireng Jombang yang dipimpin langsung Presiden SBY saat itu. Rupanya tayangan tersebut tidak menarik bagi Kiai Sahal, barangkali hanya menambah beban kesedihan saja, dan menghendaki supaya dimatikan saja TV-nya. Hari-hari berikutnya semua stasiun TV setiap waktu menayangkan mengenang mendiang Gus Dur hingga berminggu-minggu, dan selama itu pula Kiai Sahal tidak melihat tayangan TV.


Hari ketujuh wafatnya Gus Dur, setelah dirasa cukup sehat, Kiai Sahal berangkat menuju Jombang untuk takziah dan langsung menuju kompleks pemakaman. Setibanya di sana beliau langsung shalat dan tahlil di pusara Gus Dur dengan bunga-bunga yang tampak masih segar dan basah.


Saya makmum di belakang beliau sambil memperhatikan ada air mata menetes dari mata beliau. Air mata kedua yang pernah saya lihat. Yang pertama adalah ketika beliau takziah di Denanyar Jombang saat shalat dan tahlil di makam Gus Mujib Sohib. Usai tahlil di makam Gus Dur, Kiyi Sahal kemudian menuju "ndalem" (kediaman) Pengasuh Tebuireng untuk silaturrahim dengan Gus Solah, adik Gus Dur.

 

Hubungan Erat Kajen dan Tebuireng

 

Perihal hubugan erat Kajen dan Tebuireng, suatu ketika, KH Hasyim Asy'ari bermaksud menemui Kiai Salam dengan diantar oleh Kiai Nawawi. Namun, sesampai di tempat Kiai Salam, rupanya yang dituju sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Kiai Hasyim berhenti menahan langkah, sambil menghindarkan diri agar tidak dilihat dan mengganggu Kiai Salam mengajar ngaji.


Setelah menunggu pengajian usai dan anak-anak membubarkan diri, barulah Kiai Hasyim melanjutkan tujuannya. Kiai Salam, mengetahui yang datang adalah Kiai Hasyim Asy'ari, langsung menyambutnya dengan suka cita.


Ada yang mengharukan hati Kiai Hasyim setelahnya keluar dari kediaman Kiai Salam dan juga membuatnya iri. Kiai Nawawi, melihat yang diantarnya itu berkaca-kaca menjadi keheranan. Rupanya ada cita-cita Kiai Hasyim yang belum terwujud tapi Kiai Salam malah sudah menjalankannya dengan istiqomah, yaitu mu'allimus shibyan, mengajar ngaji anak-anak.


Kiai Salam adalah kakek Kiai Sahal dan Kiai Hasyim kakek Gus Dur, sementara Kiai Nawawi adalah adik Kiai Salam. Anak Kiai Nawawi yaitu Kiai Thohir adalah santri Tebuireng yang saat keboyongannya diantar sendiri oleh Kiai Hasyim.


Kiai Salam sendiri, setelah putranya yaitu Kiai Mahfudh ayah Kiai Sahal kembali dari mengaji di Makkah diperintahnya untuk ke Tebuireng tabarrukan mengaji kepada Kiai Hasyim, yang kemudian kepulangannya dari Tebuireng ke Kajen dititipi Gus Kholik putra Kiai Hasyim agar dibawa ke Kajen supaya mengaji kepada Kiai Mahfudh.


Kiai Mahfudh selama di Tebuireng sangat dekat dengan Kiai Wahid Hasyim ayah Gus Dur. Kedekatan itu terus berlanjut meski Kiai Mahfudh telah kembali ke Kajen. Jika Kiai Wahid ada kegiatan di Jakarta, Kiai Wahid selalu menyempatkan diri dalam perjalanan ke Jakarta untuk singgah di Kajen menemui Kiai Mahfudh, banyak hal yang dibicarakan oleh keduanya. Utamanya adalah informasi-informasi terbaru terkait pergerakan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan. 


Menjelang Indonesia Merdeka, Kiai Salam Wafat. Kiai Mahfudh syahid dibunuh penjajah di dalam tahanan benteng ambarawa. Ibu Nyai Badi'ah tidak lama kemudian menyusul. Dalam takziahnya ke Kajen, Kiai Hasyim mengutarakan kepada Kiai Nawawi berkenan untuk mengasuh Kiai Sahal.


Eratnya hubungan Kajen Tebuireng itu terus berlanjut. Ketika Kiai Sahal mulai disibukkan dengan kegiatan di Jakarta dan belum memiliki rumah. Kiai Sahal biasa tinggal di rumah Ibu Nyai Solichah Wahid, Ibu Gus Dur di kawasan Matraman.


Kiai Sahal sebetulnya masih famili Ibu Nyai Solichah, Kiai Sahal biasa memanggilnya Mbakyu. Karena Kiai Bisri Denanyar atau ayah dari Ibu Nyai Solichah adalah kakak sepupu Kiai Mahfudh. Jika Kiai Sahal akan pulang ke Kajen, dari Matraman ke Stasiun kadang diantar dengan Vespa oleh Ibu Nyai Lily Wahid adik Gus Dur. 


Gus Dur dan Kiai Sahal, keduanya sama-sama berperan aktif di NU sehingga sering berkumpul bersama. Bahkan sebelum akhirnya Gus Dur menetap di Ciganjur. Pernah suatu ketika Gus Dur tidak mempunyai uang untuk membayar kontrakan. Mengetahui Kiai Sahal ada di Jakarta, Gus Dur mengejarnya minta uang kepada pamannya itu untuk bayar kontrakan.

 


Munirul Ikhwan, Sekretaris PCNU Pandeglang, Banten