Fragmen

Kiprah Politik KH Idham Chalid

Jum, 30 Maret 2018 | 17:30 WIB

Karir politik KH Idham Chalid atau Kiai Idham dimulai sejak ia diangkat menjadi anggota parlemen sementara atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPR) dari Partai Masyumi tahun 1950. Tahun 1952, Nahdlatul Ulama (NU) pisah dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Kiai Idham juga keluar dari Masyumi dan memilih untuk aktif di NU. 

Merujuk buku Idham Chalid; Guru Politik Orang NU, Kiai Idham terpilih menjadi Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu) –sebuah dewan khusus yang menangani masalah pemilu Partai NU- pada 1954. Dengan jabatan itu, ia memiliki tugas untuk memenangkan partai NU di pemilihan umum (pemilu) 1955. Sebelumnya, jabatan ini diduduki oleh Saleh Surjaningprodjo. 

Pada saat itu, NU hanya memiliki waktu tiga tahun untuk mempersiapkan diri ikut pemilu pertama Indonesia. Namun demikian, NU sukses dalam pemilu tersebut dan menjadi partai terbesar keempat dengan perolehan jumlah suara 6. 955.141 (18,4 persen) atau 45 kursi di parlemen. Keberhasilan NU ini tidak lepas dari kepiawaian para petinggi partai NU dalam melakukan konsolidasi di kalangan santri. 

Dengan jumlah suara yang didapatkannya itu, NU mendapatkan jatah lima menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II. Kiai Idham –yang saat itu masih berusia 35 tahun- didaulat menjadi wakil perdana menteri Republik Indonesia dari tahun 1956-1957.

Awalnya, Kiai Idham enggan menduduki jabatan itu. Ia menyarankan agar Dachlan saja yang menjadi wakil perdana menteri. Namun, Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo menginginkan Kiai Idham untuk menjadi wakilnya. Setelah dibujuk, akhirnya Kiai Idham mau menerima jabatan tersebut.

Kabinet Ali Sastroamijoyo II tidak bertahan lama. Pada 14 Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Presiden Soekarno setelah terjadi huru-hara politik di sepanjang tahun 1956 -1957. 

Lalu pemerintah membentuk susunan kabinet baru, Kabinet Djuanda. Kiai Idham ditunjuk menjadi wakil perdana menteri untuk kedua kalinya dalam kabinet yang berbeda (1957-1959). Kecerdasan, kejelian, dan kemampuan membangun jaringan adalah kunci yang dimiliki Kiai Idham sehingga berhasil menduduki jabatan wakil perdana menteri untuk yang kedua kalinya. Dekrit Presiden 1959 menjadi penanda berakhirnya jabatan Kiai Idham sebagai wakil perdana menteri. 

Satu bulan setelah Dekrit dikeluarkan, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) –badan yang memiliki fungsi untuk memberikan pertimbangan kepada presiden. Kiai Idham terpilih sebagai anggota DPAS karena dinilai memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno. Lagi-lagi, Kiai Idham membuktikan bahwa dirinya adalah orang lihai dalam membangun jaringan. Meski zaman sudah berubah, tetapi ia tetap bisa menempati jabatan yang strategis di pemerintahan. 

Karir politik Kiai Idham seperti tidak ada surut-surutnya. Pada 1960, Kiai Idham ‘banting setir’ ke parlemen. Ia menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia kembali berkiprah di pemerintahan dan sukses menjadi wakil perdana menteri untuk yang ketiga kalinya, yaitu pada Kabinet Dwikora tahun 1966. Sayangnya, jabatan ini hanya bertahan empat bulan. Ini sekaligus menjadi jabatan terakhirnya pada era Orde Lama (Orla).

Pada masa Orde Baru (Orba), kiprah Kiai Idham di dunia pemerintahan terus berlanjut. Tercatat, ia ditunjuk untuk menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Ampera I dari tahun 1967-1970. Lalu kemudian, ia menjadi Menteri Sosial dari tahun 1970-1971. 

Setelah melalang buana di pemerintahan di masa-masa awal  Orde Baru, Kiai Chalid 'banting setir' lagi ke parlemen. Terbukti, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dari tahun 1971 hingga 1977. Jabatan terakhirnya pada Orde Baru adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia diangkat menjadi ketua DPA masa bakti 1978-1983. Sebuah jabatan yang juga pernah ia sandang ketika era Orde Lama.

Di samping berkiprah di pemerintahan dan parlemen, Kiai Idham juga aktif di partai. Pada 1973, pemerintah Orde Baru membuat kebijakan penggabungan (fusi) partai politik sehingga yang ada hanya tiga partai saja. Partai-partai Islam dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai-partai nasionalis digabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan golongan karya dimasukkan ke dalam partai Golkar. Mau tidak mau NU –yang saat itu masih menjadi partai politik- melebur menjadi PPP. Kiai Idham ditetapkan sebagai Presiden PPP hingga tahun 1989.

Sepanjang kiprahnya di dunia politik, ada satu hal yang disayangkan dari seorang Kiai Idham. Yakni menolak tawaran menjadi wakil presiden menggantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Entah apa yang menyebabkan Kiai Idham tidak mau menerima tawaran tersebut, padahal pada saat itu banyak orang yang ingin menduduki jabatan itu. (A Muchlishon Rochmat)