Fragmen

Kisah Kiai Asnawi Dirikan NU Cabang Kudus

Sen, 25 Juni 2018 | 21:00 WIB

Kisah Kiai Asnawi Dirikan NU Cabang Kudus

Kiai Asnawi Kudus

Oleh Ayung Notonegoro

Nama Kiai Haji Raden Asnawi dari Kudus tidaklah asing dalam belantika Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk Asabiqunal Awwalun (generasi awal) di organisasi yang didirikan para ulama itu. Bahkan, Kiai Asnawi merupakan salah satu kiai yang ditunjuk sebagai mustasyar dan anggota delegasi Komite Hijaz, meski pada akhirnya ia gagal berangkat.

Kedekatan Kiai Asnawi dengan NU bukanlah hal yang aneh. Ia merupakan seorang ulama penganut Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja). Suatu hal yang menjadi ruh dari perjuangan NU itu sendiri, yakni menegakkan Islam Aswaja. KH. Sholeh Darat, KH. Mahfudz Termas dan Sayyid Umar Syata adalah sederet nama ulama Aswaja yang menjadi guru-gurunya.

Selain kesamaan ideologis tersebut, kedekatan Kiai Asnawi dengan NU tak lain karena para perintis NU merupakan murid-muridnya sendiri. Hadratusyekh KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahab Hasbullah adalah pendiri dan penggerak NU yang pernah nyantri kepadanya.

Keterlibatan Kiai Asnawi di NU terhitung militan. Ia merupakan sedikit ulama besar yang aktif dalam setiap kegiatan NU. Dalam catatan Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan dalam Antologi NU, Kiai Asnawi terhitung tokoh yang tak pernah absen dalam setiap muktamar sejak muktamar pertama hingga muktamar ke-22 di Jakarta, 1959. Tahun yang sama dengan waktu wafatnya. Hanya pada Muktamar di Medan pada 1952, beliau tak hadir karena saat itu situasi keamanan di Sumatera sedang mencekam dikarenakan pemberontakan PRRI.

Kiai kelahiran Damaran, Kudus, 1861 ini, tak sekadar hadir di NU. Tapi beliau memiliki peranan yang cukup signifikan untuk mengembangkan organisasi yang pada 31 Januari 2026 mendatang genap seabad. Salah satunya adalah mendirikan cabang-cabang NU. Termasuk NU Cabang Kudus yang merupakan daerah asalnya.

Pada Ahad malam, 10 Rabiul Awal 1347 H bertepatan 26 Agustus 1928 M, Kiai Asnawi menggelar veergedering. Suatu pertemuan yang mendatangkan ulama dan sejumlah tokoh di Kudus. Acara yang diberitakan di Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 2 Tahun II 1347 H itu, juga mendatangkan sejumlah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Di antaranya KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdullah Ubaid.

Seperti biasanya, Kiai Wahab mengawali pembicaraan dalam pertemuan tersebut. Ia menguraikan tentang tujuan berdirinya Nahdlatul Ulama dan hasil pertemuan Komite Hijaz dengan Raja Saud di Makkah. Di saat itu, ada sebuah pertanyaan dari Kiai Penghulu Kudus. Ia menanyakan tentang beberapa berita di koran yang mengabarkan NU bubar.

Pertanyaan dari Kiai Penghulu itu pun lantas dijawab langsung oleh Kiai Abdullah Ubaid. Ia menjelaskan kabar dusta (hoaks) itu, sedemikian detail, apa maksud dan tujuan dari hoaks tersebut, bahkan, siapa pihak yang menyebarkannya.

Setelah terang semua hal tentang NU bagi para tokoh Kudus, lantas Kiai Asnawi mengambil alih forum. Ia menegaskan tentang kemufakatan tokoh-tokoh Kudus untuk menerima dan mendirikan Cabang NU di daerah kretek tersebut.

Upaya Kiai Asnawi Kudus untuk mendirikan cabang-cabang baru merupakan salah satu amanat dari Muktamar NU ketiga. Saat itu, di Majelis Khamis (Komisi Lima) memutuskan untuk membentuk Lajnatun Nashihin yaitu sebuah organ taktis yang bertujuan untuk mempropagandakan NU ke daerah-daerah. Tugas tersebut dibebankan kepada sembilan orang kiai di antaranya adalah Kiai Wahab, Kiai Abdullah Ubaid dan Kiai Asnawi sendiri.

Para kiai di Lajnatun Nashihin itu berkeliling di Jawa dan Madura untuk memperkenalkan maksud dan tujuan NU. Lantas, di daerah tersebut, didirikanlah Cabang NU. Sebelum ke Kudus, dua hari sebelumnya, Kiai Wahab dan Kiai Ubaid datang ke Semarang dan Pekalongan. Di dua daerah tersebut juga didirikan Cabang NU.

Setelah para peserta veergedering menyetujui untuk mendirikan Cabang NU di Kudus, Kiai Asnawi pun kemudian memimpin proses pemilihan kepengurusan cabang tersebut. Susunan Pengurus Cabang NU Kudus yang pertama itu pun disusun pada malam itu juga. Lengkap, mulai dari syuriyah hingga tanfidziyah.

Yang terpilih jadi rais syuriyah adalah Kiai Ahmad Kamal (Damaran). Sedangkan wakilnya adalah Kiai Mufid (Sunggingan). Adapun katibnya adalah Kiai Fauzan (Damaran). Sedangkan jajaran A'wan antara lain: Kiai Dahlan (Kauman), Kiai Nur (Bale Tengahan), dan Kiai Abdul Hamid (Kauman).

Posisi Mustasyar selaku dewan penasehat dijabat oleh Kiai Asnawi sendiri. Juga ada Kiai Muslim (Langgar Dalem), Kiai Shofwandari (Tapasan) dan Sayyid Ali Bafaqih (Kauman).

Jajaran tanfidziyah langsung diketuai oleh H Abdul Muid (Kauman). Wakilnya bernama H Ali As'ad (Jagalan). Sedangkan sekretaris dan bendaharanya adalah H Muhammad Nuh (Nanggungan) dan H Zuhri (Bijen). Untuk bendahara, juga memiliki wakil yang diduduki oleh H Asrorun (Damaran).

Sedangkan jajaran komisaris antara lain H Nur Sahid (Jagalan), H Abdul Muiz (Kauman), H Rohmat (Langgar Dalem), H Masyhur (Langgar Dalem), H Muqsith (Damaran), H Sanusi (Pekojan), H Ali Asypin (Sunggingan), dan H Ali Irsyad (Jeparanan).

Setelah penyusunan pengurus lengkap selesai, tepat pukul 12.00 malam, veergedering itu ditutup dengan doa. Doa keselamatan dan perkembangan NU di Nusantara umumnya, serta di Kudus, khususnya.

Penulis adalah penggiat sejarah pesantren dan NU. Kini aktif sebagai kerani di Komunitas Pegon