Fragmen

Kisah Penamaan Gelora Bung Karno oleh KH Saifuddin Zuhri

Sen, 8 Juni 2020 | 06:31 WIB

Kisah Penamaan Gelora Bung Karno oleh KH Saifuddin Zuhri

Momen pembukaan Asian Games Tahun 1962 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. (Foto: dok. Majalah Mimbar Penerangan Tahun 1962)

Momen perhelatan Asian Games 2018 lalu yang sukses digelar di Indonesia tidak hanya menjadikan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) sebagai ikon yang tersimbol di dalam logo Asian Games, tetapi juga menjadi saksi persatuan bangsa-bangsa Asia yang penuh dengan energi (Energy of Asia).

 

Tahun 2018 tersebut bukan pertama kali. Karena jauh sebelum itu, yakni pada tahun 1962, Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Soekarno juga mampu memukau masyarakat Asia, bahkan dunia dalam penyelenggaraan Asian Games 1962. Padahal sebelumnya, Indonesia diragukan akan berhasil menyelenggarakan pesta olahraga se-Asia itu.

 

 

Saat itu, tak ingin malu pada perhelatan akbar yang pertama kali mampir di Indonesia tersebut, pemerintah Soekarno membangun kompleks Pusat Olahraga Senayan yang terdiri Stadion Utama, Istora, Stadion Renang, Stadion Ikada, Stadion Atletik dan Hoki, Gedung basket, dan Lapangan Voli, Lapangan Menembak, kemudian perkampungan internasional alias perkampungan atlet.

 

Walhasil, pembangunan Stadion Utama Senayan selesai tepat pada waktunya dan resmi dibuka pada 24 Agustus 1962, bertepatan dengan pembukaan Asian Games ke-4.

 

Di balik selesainya pembangunan tersebut, saat akan diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1962 kawasan yang berdiri di atas lahan seluas 225 hektare itu belum memiliki nama.

 

Pada suatu pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Bung Karno bersama beberapa menteri sedang membicarakan hal tersebut.

 

 

Hadir di antaranya Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno, Menteri Olahraga Maladi, dan beberapa pejabat lainnya, termasuk Menteri Agama kala itu KH Saifuddin Zuhri.

 

Dalam perbincangan tersebut, hampir disepakati sebuah nama untuk kompleks tersebut, yaitu Pusat Olah Raga Bung Karno. Tetapi, sebagaimana tertulis dalam autobiografi KH Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren (LKiS: 2013), usulan tersebut disanggah oleh Kiai Saifuddin.

 

"Nama itu tidak cocok dengan sifat dan tujuan olahraga," komentar Kiai Saifuddin. 

 

"Mengapa?" selidik Bung Karno.

 

"Kata 'pusat' pada kalimat 'Pusat Olah Raga' itu kedengarannya kok statis, tidak dinamis seperti tujuan kita menggerakkan olahraga," jawab Kiai Saifuddin.

 

"Usulkan nama gantinya kalau begitu!" sergah Bung Karno.

 

"Nama 'Gelanggang Olah Raga' lebih cocok dan lebih dinamis," usulnya.

 

"Nama Gelanggang Olah Raga Bung Karno kalau disingkat menjadi Gelora Bung Karno! Kan mencerminkan dinamika sesuai dengan tujuan olahraga," jelasnya lebih lanjut.

 

"Waah, itu nama yang hebat. Saya setuju!" ungkap Bung Karno.

 

 

Nama Gelora Bung Karno sempat diubah kembali ke Stadion Senayan pada masa kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru (Orba). Namun dikembalikan lagi ke nama awal, Stadion Gelora Bung Karno ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden ke-4 RI secara demokratis pada 1999.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi