Fragmen HARI TANI NASIONAL

Kisah Petani dan Pamong Desa

Rab, 24 September 2014 | 11:18 WIB

Sekira tahun 1980, pemerintah orde baru menggembor-gemborkan keberhasilan swasembada pangan. Namun di balik hal tersebut terdapat beragam peristiwa yang menunjukkan tidak keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, khususnya para petani.
<>
Salah satu kisahnya seperti yang pernah dipaparkan oleh KH Muhammad Yahya, salah satu tokoh sepuh Desa Japurabakti Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Ia menceritakan tentang sebuah kebijakan pemerintah pusat yang diinstruksikan secara terstruktur hingga ke wilayah desa.

ā€œMasa itu, pemerintah pusat menginstruksikan agar para petani yang sawahnya berada di sekitaran pabrik gula wajib merelakan tanah atau sawahnya untuk ditanami tebu,ā€ katanya.

Kebetulan saja, Desa Japurabakti terletak di wilayah yang dekat dengan Pabrik Gula Sindanglaut, peninggalan Belanda yang masih beroperasi hingga kini. Kiai Muhammad melanjutkan, dengan dalih untuk memenuhi pasokan gula negara, pemerintah pusat cenderung bersikap memaksa para petani padi untuk beralih menanam tebu.

Suatu hari, Kiai Muhammad menceritakan sebuah dialog antara pamong desa dan salah seorang petani bersikukuh untuk tetap menanami sawahnya dengan tanaman padi, padahal hampir semua sawah yang terletak di sekitarnya sudah menjulang pohon-pohon tebu yang siap pangkas.

ā€œHei, Hasan! Kalau sampai besok kamu tidak juga menanami sawahmu dengan tebu, maka kamu tidak boleh bersawah di sini!,ā€ ketus pamong desa.

ā€œLoh, kenapa?, ini kan sawah saya sendiri?,ā€ jawab Hasan, petani Japura.

ā€œYa ini memang sawahmu, tapi wilayahnya masuk ke pemerintahan desa, makanya, kalau tidak mau nurut, silakan keruk Ā tanah dari sawahmu ini, terus pindahkan kemana pun kau suka, asal jangan di desa ini.ā€

ā€œOh, begitu, Bapak Pamong yang terhormat, begini, jika sawah ini tanahnya saya keruk, kan pasti berubah jadi kolam? Nah, kolam itu tetap milik saya dong?,ā€ timpal Hasan sembari tersenyum.

Mendengar jawaban Hasan, menurut Kiai Muhammad, sang pamong desa rupanya perlu menyiapkan argumen yang lebih jitu lagi, hingga akhirnya dia berbalik badan tanpa pamit undur diri. (Sobih Adnan)