Fragmen

Kisah Ulama Pesantren tentang Gamelan yang Jadi Warisan Budaya Dunia

Jum, 17 Desember 2021 | 16:30 WIB

Kisah Ulama Pesantren tentang Gamelan yang Jadi Warisan Budaya Dunia

Alat musik gamelan. (Foto: Pinterest)

Gamelan merupakan salah satu alat musik tradisional Indonesia asal Jawa. Alat musik gamelan diduga sudah ada sejak tahun 404 masehi. Belakangan, gamelan berkembang ke sejumlah daerah di Indonesia seperti Madura, Bali, Lombok, tentu saja banyak dimainkan di Yogyakarta. Di tiga daerah terakhir, gamelan tidak hanya dimainkan oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga lihai dimainkan oleh turis-turis dari mancanegara.


Sejak era awal penyebaran Islam di Nusantara, Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga menggunakan gamelan sebagai instrumen dakwah Islam. Wali bernama asli Raden Mas Said, putera Tumenggung Arya Wilatikta (Adipati Tuban VIII) itu tak hanya mahir menjadi dalang wayang kulit, tetapi juga bisa memainkan gamelan. Antusiasme warga terhadap tradisi wayang kulit dan gamelan membuat Sunan Kalijaga tertarik untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya masyarakat.


Pertemuan tradisi musik gamelan dan ajaran Islam ada pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Tanpa memberangus tradisi dan budaya, ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat. Tradisi dan budaya berbasis kehidupan sosial-masyarakat dipertahankan betul oleh ulama-ulama pesantren, termasuk melalui gamelan.


Kisah salah seorang ulama pesantren, yaitu KH Chudlori Tegalrejo, Magelang terkait gamelan cukup menggambarkan bagaimana dakwah dan pesan-pesan Islam perlu disampaikan secara ‘arif dan bijak.


Disampaikan Nur Kholik Ridwan (2018), KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah nyantri kepada Kiai Chudlori pada tahun 1957-1959 mengisahkan saat gurunya itu dihadapkan pada dua pilihan, membeli gamelan atau membangun masjid. Kedua hal tersebut merupakan tuntutan masyarakat. Tetapi Gus Dur menyaksikan Kiai Chudlori menyarankan untuk membeli gamelan dulu daripada membangun masjid yang besar. 


Pada saat itu, Gus Dur menyaksikan penduduk kampung yang mendatangi Kiai Chudlori di pesantrennya. Mereka sebelumnya sudah melakukan musyawarah, tapi belum menemukan titik temu terkait pembagian dana kas desa.


Sebagian masyarakat menginginkan dana itu digunakan untuk membangun renovasi masjid dan sebagian menginginkan untuk membeli alat-alat kebudayaan, yaitu gamelan. Setelah mereka sampai dan diterima Kiai Chudlori, masing-masing kelompok yang berbeda pendapat itu kemudian menuturkan keinginannya.


Setelah itu, Kiai Chudlori pun memberikan pendapatnya. Kelompok yang setuju agar dana itu digunakan untuk renovasi masjid sangat senang karena mengira Kiai Chudlori, sebagai seorang kiai, akan memberikan fatwa bahwa dana itu sebaiknya untuk pembangunan masjid.


Namun, apa yang disampaikan Kiai Chudlori sungguh tak disangka. Kiai Chudlori justru mengatakan bahwa sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan. Karena, menurut Kiai Chudlori, kalau gamelannya sudah ada dan masyarakatnya rukun, nanti dengan sendirinya dana untuk masjid akan ada. 


Ada juga versi yang menjelaskan, KH Chudlori kemudian mengatakan, “kalau kita tidak ngemong (mengayomi) kepada masyarakat yang senang gamelan, nanti yang sholat di masjid siapa.”


Rombongan tamu itu akhirnya menerima keputusan Kiai Chudlori, dan Gus Dur melihat tamu-tamu itu, dan argumen-argumen mereka, juga melihat keputusan Kiai. Sebuah keputusan yang dapat merekonsiliasikan antara kebutuhan kebudayaan dan masjid, kedua-duanya dapat terakomodasi tanpa terjadi perpecahan. Hal ini yang di kemudian hari juga mengilhami aksi-aksi dan pemikiran kebudayaan Gus Dur, dan rekonsiliasi kebudayaan-Islam.


Dan benar, setelah membeli gamelan masyarakatnya pun kompak dan mulai bergotong royong membangun masjid yang besar. Dari cerita tersebut dapat diambil suatu nilai bahwa Islam tidak hanya simbolik untuk bangunan, tapi lebih kepada pendekatan nilai-nilai. Apa gunanya masjid berdiri megah, tapi masyarakatnya terpecah belah dan tak pernah bersatu.


Gamelan kini menjadi warisan budaya dunia dari Indonesia ke-12 yang tercatat dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Indonesia UNESCO. Beberapa budaya Indonesia lainnya yang telah dulu masuk daftar tersebut antara lain wayang, keris, batik, pendidikan dan pelatihan batik, angklung, tari saman, noken, tiga genre tari tradisional di Bali, seni pembuatan kapal pinisi, pencak silat, dan pantun.


Gamelan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keputusan tersebut ditetapkan pada Rabu 15 Desember 2021 dalam sidang UNESCO sesi ke-16 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon