Fragmen

Mandi Tujuh Sumur, Tradisi Nisfu Sya’ban yang Tergerus Teknologi

Sen, 29 Maret 2021 | 14:30 WIB

Mandi Tujuh Sumur, Tradisi Nisfu Sya’ban yang Tergerus Teknologi

Kesucian setelah mandi itu diyakini sebagai satu upaya untuk menutup catatan amal dengan kebaikan.

Menjelang senja di tanggal 14 Sya’ban, anak-anak kecil di kampung saya berkumpul di satu titik yang telah disepakati sebelumnya. Setelah kumpul, mereka berangkat menuju destinasi pertama yakni masjid. Ya, masjid dianggap sebagai tempat suci yang harus didahulukan daripada tujuan-tujuan berikutnya.

 

Mereka tidak hendak melaksanakan shalat ataupun mengaji kepada kiai. Tujuan mereka bukan menapaki lantai masjid yang suci itu. Pasalnya, mereka berjalan dari rumahnya tanpa alas kaki. Tujuan mereka adalah sumur. Barangkali ada yang sudah tidak mengenal makhluk yang bernama sumur, mudahnya itu adalah sumber air yang dibuat dengan menggali tanah. Biasanya, galian itu dibatasi dengan tembok setinggi setengah badan dalam bentuk lingkaran.

 

Di sumur itu, mereka mandi. Secara bergantian, salah satu atau dua di antara mereka menimba airnya dengan menggunakan ember yang tersedia. Ember tersebut dikerek dengan tali yang terbuat dari bekas ban karet yang mengantarkannya naik turun. Lalu, satu ember berisi air penuh itu mereka siramkan bersama ke tubuh mereka. Basah kuyuplah. Dengan mandi air itu, mereka merasa suci dari segala dosa, seperti terlahir kembali di dunia tanpa membawa bercak noda.

 

Pasalnya, anak-anak tersebut meyakini bahwa mandi di sumur pada 14 Sya’ban menjelang 15 Sya’ban itu adalah mandi air zamzam, satu sumber air yang keluar atas izin Allah karena hentakan kaki Nabi Ismail. Air yang dianggap suci umat Islam, air yang konon setelah diteliti merupakan paling tinggi kandungan mineralnya.

 

Kesucian setelah mandi itu diyakini sebagai satu upaya untuk menutup catatan amal dengan kebaikan. Sebagaimana diketahui, Nisfu Sya’ban merupakan waktu diangkutnya amal-amal. Dalam kitab Maa Dzaa fi Sya’ban, Sayyid Muhammad Alawi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Nasai dan Imam Ahmad bahwa alasan Rasulullah saw. berpuasa di Nishfu Sya’ban adalah karena beliau ingin ketika amalnya diangkat dalam keadaan berpuasa.

 

Dari masjid, mereka pun bergeser ke sumur-sumur warga. Rumah yang didatangi anak-anak ini juga merasa senang dan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi warga. Ada keberkahan yang bakal mengalir dari kehadiran bocah-bocah itu, apalagi mereka mandi dengan menggunakan air sumurnya saat Nisfu Sya’ban.

 

Belasan tahun lalu, saya mengikuti tradisi itu. Selepas pulang sekolah madrasah, saya dan kawan-kawan langsung melepas pakaian seragam, mulai dari peci, baju, hingga celana panjang. Kami hanya mengenakan celana dan kaos pendek. Bergerombollah kami menuju masjid. Di perjalanan itu, kami berpapasan dengan kelompok dari blok lain. Ramai dan riuh suasana saat itu. Anak-anak berlarian pindah dari satu sumur ke sumur lain dengan basah kuyup.

 

Teknologi yang Menghapus Tradisi

 

Kita maklumi bersama, bahwa mesin penyedot air membuat kebutuhan paling penting bagi manusia itu semakin mudah didapatkan. Cukup dengan menyentuh tombol sakelar, air langsung mengalir ke bak mandi masing-masing. Bahkan, air pun ditampung di penampung-penampung besar sehingga ketika listrik mati, persediaan air tetap ada. Karenanya, untuk mendapatkan air, orang tidak perlu repot-repot lagi menimba dari sumur yang butuh tenaga ekstra dengan kadar kehati-hatian yang juga harus senantiasa dijaga. Cukup dengan memutar tuas kran, air mengalir dengan derasnya.

 

Manusia sekarang semakin dimanjakan dengan adanya teknologi. Adanya mesin air ini, membuat sumur-sumur tidak lagi dibutuhkan. Tak pelak, sumur air di kampung mendekati kepunahan. Beberapa memang masih ada, tetapi ditutup rapat, kecuali menyisakan lubang kecil sebagai sarana paralon masuk untuk mengangkut air yang disedot mesin bertenaga cukup besar itu. Sebagian besarnya, sumur sudah ditutup rapat. Tidak ada akses lagi untuk memperoleh airnya. Sebab, pemilik juga sudah mengebor di bagian lain di rumahnya.

 

Hal ini juga berdampak pada menuju punahnya tradisi mandi tujuh sumur yang biasa dilakukan menjelang 15 Sya’ban. Hari ini, jangankan orang dewasa, anak-anak pun tak terlihat di sore menjelang Nisfu Sya’ban itu. Mereka tidak ada yang kuyup. Saya merindukan basah kuyup penuh kesucian itu.

 

Syakir NF, alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon