Fragmen HARI KEMERDEKAAN

Mbah Hasyim Asy'ari, Berjuang sampai Mati

Kam, 16 Agustus 2012 | 23:00 WIB

Jombang, malam tanggal 25 Juli 1947. Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari, beberapa saat selepas sembahyang tarawih 7 Ramadhan 1366 H. Tak lama kemudian, datang dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, pembangkit semangat perjuangan.

<>

Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Karena agresi itu, wilayah Indonesia makin menciut; tinggal selembar daun kelor. Wilayah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah timur, dan Gombong di Kebumen. Di sebelah barat tinggal Yogyakarta sebagai pusatnya.

“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.

Rais Akbar Nahdlatul Ulama yang berusia 76 tahun itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah --dua badan kelaskaran di bawah komando kiai-kiai NU-- Malang ini, sangat mengejutkan KH Hasyim Asy’ari. 

“Masya Allah, Masya Allah!” pekiknya.

Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.  

Menurut KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, karena mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali. 

Kemudian menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka VII yang diterbitkan Departemen Penerangan, hal tersebut menunjukkan betapa penuhnya perhatian ulama besar tersebut akan nasib perjuangan bangsa dan negara. 

Karena situasi bangsa di bawah kekuasaan penjajah Belanda, di samping mengajar, ia turut memikirkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Keluar-masuk penjara pun jadi risiko. 

Pada masa itu, ia mengeluarkan dua buah fatwa yang terkenal dalam sejarah. Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad, hukumnya wajib bagi setiap orang (fardhu ain). Kedua, melarang kaum muslimin beribadah haji menumpangi kapal-kapal Belanda.  

Pada masa penjajahan Jepang ia pernah ditahan bersama KH Mahfudz Siddiq, karena menolak Seikerei, membungkuk 90 derajat tiap pukul tujuh pagi untuk menghormati Kaisar Jepang. Selama empat bulan ia dipenjarakan berpindah-pindah dari Jombang, Mojokerto hingga Bubutan, Surabaya; bercampur dengan tawanan Sekutu. 

KH Hasyim Asy’ari dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Jombang, Jawa Timur, sebagai kusuma bangsa. Atas jasa-jasa perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.

KH Hasyim Ay’ari wafat, tapi tetap mewariskan darah pejuang kepada putra-putranya, yaitu KH Wahid Hasyim, salah seorang perumus Pancasila dan Menteri Agama RI tiga kali. KH Choliq Hasyim menjadi Daidanco (Komandan Batalyon Pembela Tanah Air, PETA,) KH Yusuf Hasyim aktif di Laskar Hizbullah sebagai Komandan Kompi II. Salah seorang cucunya menjadi pejuang kemanusiaan dan demokrasi terdepan, KH Abdurahman Wahid. (Abdullah Alawi)