Fragmen

NU Menegaskan Hubungan Pancasila dengan Islam

Sab, 4 Juli 2020 | 18:39 WIB

NU Menegaskan Hubungan Pancasila dengan Islam

Ilustrasi NU dan Pancasila. (NU Online)

Tidak mudah bagi ormas Islam untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Namun tidak demikian dengan NU. Sedari awal, organisasi yang didirikan oleh para kiai pesantren ini berupaya memperkuat substansi dan praksis keagamaan dalam membangun bangsa dan negara secara bersama-sama. Substansi yang terkandung dalam Pancasila telah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang perlu diperjuangkan.

Pancasila dirancang sebagai ideologi pemersatu sehingga substansinya harus mampu mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, etnik, dan lain-lain. Substansi ini yang perlu digali sehingga Pancasila dapat diterima sebagai asas.

Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi tidak dilakukan NU tanpa dasar dan argumen syar’i dalam pandangan Islam. Hal ini dilakukan oleh para kiai pesantren pada Munas Ali Ulama di Situbondo tahun 1983, setaun jelang Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama. Para kiai yang digawangi oleh KH Achmad Shiddiq Jember merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam.

Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Shiddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. Problem ini seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu.

Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru. (Baca Menghidupkan Kembali Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, Logos, 1999)

Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Langkah ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.

Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme.

Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah. Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah saat itu.

Langkah yang dilakukan para kiai pesantren berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tidak memahami Islam secara simbolik tetapi substantif. Sehingga tidak ada upaya-upaya bughot untuk memformalisasikan Islam ke dalam sistem negara, kecuali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil saja.

Di titik inilah mengapa ulama NU perlu menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila agar tidak dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai-nilai Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Dengan sederhana, dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan asas kaum beragama di Indonesia dalam merajut kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sini prinsip agama tidak bisa dilepaskan dari substansi yang terkandung dalam Pancasila. Namun, jika ada kelompok-kelompok kecil Islam yang menolak Pancasila, maka itu bukan karena agama dasar mereka, tetapi mereka hendak menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk meraih kekuasaan.

Berikut lima poin deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam yang dirumuskan sejumlah kiai pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo:

Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam

Bismillahirrahmanirrahim

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama

Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi