Fragmen

Pakar Islam Snouck Hurgrounje dan Mata-mata Jepang yang Masuk Islam

Jum, 17 Juni 2022 | 08:30 WIB

Pakar Islam Snouck Hurgrounje dan Mata-mata Jepang yang Masuk Islam

Ilustrasi (Foto: tirto)

Sejarah mencatat, penjajah Belanda (Holland) dan Jepang (Nippon) melakukan praktik spionase untuk memata-matai tokoh-tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, terutama tokoh Islam. Belanda mendaulat Snouck Hurgronje, sedangkan Jepang memerintahkan Suzuki, Inada, dan Nobuharo Ono menjadi mata-mata.


Penjajah melakukan praktik spionase untuk mengetahui informasi, gerak-gerik, dan strategi tokoh-tokoh Muslim yang saat itu dianggap menjadi ancaman terhadap eksistensi kolonialisme. Snouck Hurgrounje mendalami Islam dari ajaran hingga ritualnya kemudian memata-matai tokoh Islam dari Indonesia baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Begitu juga mata-mata yang bertugas menempel sejumlah ulama.


Perbedaannya, Snouck Hurgrounje menjadi Pakar Islam (Guru Besar Islamologi di Universitas Leiden Belanda) dan saking mendalamnya mempelajari Islam dan praktik-praktiknya. Bahkan Snouck Hurgrounje fasih berbahasa Arab dan membaca kitab-kitab klasik. Sedangkan mata-mata Jepang justru memeluk Islam karena merasakan sikap baik dan kasih sayang para ulama. Nama Muslim mereka Muhammad Sholeh Suzuki, Abdul Munim Inada, dan Abdul Hamid Ono.


Snouck pernah diutus oleh Hindia-Belanda untuk memata-matai aktivitas para ulama dan guru besar asal Nusantara yang sedang mengajar di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah). Ia berperan layaknya agen intelijen. Interaksinya dengan umat Islam membuahkan catatan-catatan penting sebagai bahan informasi penting untuk Hindia-Belanda. Suatu ketika, ia pernah menyamar di Makkah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghafur.


Dalam keterangan yang diungkapkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), Snouck Hurgronje adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat Hindia-Belanda perihal segala sesuatu tentang agama Islam. Yang menarik, Kiai Saifuddin menekankan bahwa meskipun pengetahuan Snouck mengenai Islam sangat banyak, ia tidak bisa disebut seorang santri.


Pengetahuannya tentang Islam hanya ditujukan untuk kepentingan spionase penjajah Belanda. Selain itu, ilmunya mengenai Islam juga tidak diorientasikan untuk kepentingan dakwah lanjutan sebagaimana tanggung jawab santri. Barangkali, Snouck cukup berjasa dalam ilmu pengetahuan sejarah karena catatan-catatan historisnya memberikan banyak informasi berharga terkait sejarah-sejarah masa lalu.


Hal itu dilakukan karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubung perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana. Khususnya saat Belanda cukup kewalahan menghadapi perang Aceh, perang Diponegoro, perang Imam Bonjol.


Dari tujuan spionesnya itu, KH Saifuddin Zuhri (2001) menjelaskan bahwa kalangan pesantren sangat keberatan kalau Profesor Belanda ini digolongkan sebagai santri. Sebutan santri untuk Snouck muncul ketika dia dianggap banyak berinteraksi dengan ulama, belajar Islam, dan melakukan banyak catatan tentang agama Islam. Namun, aktivitasnya tersebut tidak lain tercampur dengan tujuan-tujuan politik kekuasaan Hindia Belanda.


Sementara itu, untuk menindaklanjuti sorotannya terhadap para kiai dan tokoh umat Islam, Jepang menempatkan sejumlah perwira Muslim untuk menempel para tokoh Islam sebagai agen inteligen Jepang (Beppan). Para intel ini tidak hanya mengawasi gerak-gerik para tokoh Islam, tetapi juga kerap mengikuti forum-forum pengajian.


Sebut saja Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun'im Inada. Nama terakhir punya tugas memepet Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Kala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali disertai Kolonel Horie, perwira Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam di Indonesia. (Buku Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 2011)


Salah seorang perwira Muslim Jepang ialah Nobuharo Ono yang mempunyai nama Muslim Abdul Hamid Ono. Ia bertugas mengawasi KH Hasyim Asy’ari yang dianggap oleh Jepang sebagai tokoh Muslim yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia.


Namun berjalannya waktu seperti disebutkan H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasjim (2011) memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH Wahid Hasyim, putra sulung Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, bersama KH Wahab Chasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta.


Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah Hadratussyekh digelandang dari Pondok Pesantren Tebuireng.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muhammad Faizin