Fragmen

Pancasila Sakti di Tangan Para Kiai

Jum, 1 Oktober 2021 | 07:05 WIB

Pancasila Sakti di Tangan Para Kiai

Ilustrasi: NU dan Pancasila. (Foto: NU Online)

Bangsa Indonesia berkonsensus atau bersepakat terhadap dasar negara dan ideologi pemersatu bernama Pancasila. Dalam perjalanannya, Indonesia dengan Pancasilanya bukan tanpa hambatan, bahkan menghadapi pemberontakan dari kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional yang berupaya mengganti Pancasila. Di tengah rongrongan tersebut, NU dan kiai-kiai pesantren senantiasa berada di garda terdepan sehingga Pancasila tetap sakti.


Setiap tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Momen ini berangkat dari tragedi Gerakan 30 September (G30S) dan sebelumnya disambung dengan sejumlah rentetan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok komunis dan kelompok Islam konservatif yang berupaya merongrong dasar negara Pancasila.


Proses merumuskan Pancasila ini bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan yang sengkarut terjadi ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila. Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam Islam.


Tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas sesuai prinsip Islam. Akhirnya, Soekarno bersama tim sembilan yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilakan kelompok-kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.


Setelah beberapa hari, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta. Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada tim sembilan. Tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda.


Poin agama menjadi simpul atau garis besar yang diambil Soekarno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan mencermati apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.


Saat itu, rombongan yang membawa pesan Soekarno tersebut dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang anggota tim sembilan perumus Pancasila. Mereka menuju Jombang untuk menemui KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Jombang, Kiai Wahid yang tidak lain adalah anak Kiai Hasyim sendiri melontarkan maksud kedatangan rombongan.


Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan. Prinspinya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua.


Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan tirakat. Di antara tirakat Kiai Hasyim ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asy’ari membaca ayat terakhir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali. (Sumber: KH Ahmad Muwafiq)


Paginya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.


Peristiwa peneguhan Pancasila juga dilakukan oleh para kiai pada rentang tahun 1957-1959. Saat itu, Majelis Konstituante sedang membahas rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.


Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)


Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”


Baik dengan kelompok komunis maupun Islam garis keras di dalam DI/TII, para kiai tidak hanya perang gagasan dan ideologi, tetapi juga hingga berkorban fisik. Tidak sedikit kalangan pesantren yang menjadi korban atas keganasan PKI dan DI/TII sebab mempertahankan Pancasila.


Warisan pendiri bangsa untuk terus meneguhkan Pancasila terus dilakukan oleh NU. Pada Munas Alim Ulama pada 1983 dan Muktamar ke-27 NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, para kiai menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sikap tersebut belum dilakukan oleh organisasi Islam mana pun di Indonesia. Para kiai dikomandoi oleh KH Ahmad Shiddiq juga merumuskan hubungan Islam dengan Pancasila serta menjelaskan asas-asasnya secara gamblang dari perspektif syariat Islam.


Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan fondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq Jember menyampaikan sebuah pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar NU tahun 1984 tersebut. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:


“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)


Ada tiga poin penting dalam pernyataan Kiai Achmad Siddiq tersebut. Pertama, negara bangsa (nation state). Penerimaan para kiai yang mumpuni dalam ilmu agama dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi terhadap bentuk negara bangsa mempertegas bahwa Indonesia dengan mayoritas beragama Islam bukanlah negara agama, tetapi negara bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dalam Pancasila.


Kedua, negara kesatuan di wilayah Nusantara atau dengan istilah lain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan pesantren, santri dan kiai berkomitmen tinggi dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Sebab Indonesia didirikan di atas pondasi keberagaman atau kemajemukan bangsa yang terbentang di 17.504 pulau, serta mempunyai 1.340 suku, dan 546 bahasa daerah.


Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi fondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.


Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) seperti dipertegas Kiai Achmad Siddiq di atas, bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).


Ketiga, penerimaan Pancasila oleh NU untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. Ada dua catatan sejarah penting dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo, ialah NU kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini pertama kali dilakukan oleh NU. Bukan semata menyukseskan program rezim Orde Baru, tetapi lebih kepada misi bahwa Pancasila sebagai konsensus kebangsaan perlu dipertegas menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dimaksud Kiai Achmad Siddiq.


Ada pemadangan menarik ketika momen Muktamar NU 1989 di Krapyak, Yogyakarta, lima tahun setelah NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan merinci hubungan Pancasila dengan Islam. Kiai Achmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU berhasil memukau kerumunan masa berjam-jam untuk ndeprok (duduk) di tanah di bawah terik matahari. Masyarakat ingin mendengarkan penjelasan Kiai Achmad Siddiq bahwa Pancasila itu sejiwa dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).


Penjelasan Kiai Achmad Siddiq tersebut juga mendapat perhatian dari Cendekiawan Muslim, Prof Dawam Rahardjo saat itu: “Cara dia membahas dan memecahkan hubungan antara Pancasila dan Ialam tidak saja sistematis, tetapi juga logis tanpa nada apologi. Keterangannya itu bisa dimengerti oleh Pemerintah karena menggunakan terminologi politik modern. Tetapi rakyat juga bisa memahami dan juga menerima argumentasinya karena didasarkan pada metodologi pembahasan fiqih yang dikenal masyarakat,” tutur Dawan Rahardjo yang mengagumi kapasitas intelektual dan kenegarawanan Kiai Achmad Siddiq.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan