Fragmen

Penyebaran Marxisme di Indonesia

Sel, 18 November 2003 | 11:44 WIB

Marxisme baik sebagai filsafat maupu ideology gerakan berkembang pesat di Indonesia menjelang hingga pasca kemerdekaan, dan ajaran itu begitu mempesona, bahkan tidak ada perintis kemerdekaan yang tidak terpengaruh ajaran itu, seperti Soekarno, hatta Syahrir dan sebagainya. Namun perlu diingat mempelajari Marxisme tidak mesti menjadi seorang Marxis apalagi PKI. Banyak yang sekadar digunakan untuk menganalisis masalah dan mengambil sikap anti kolonialnya.Berikut ini penuturan H. Mustahal seorang warga NU yang pernah mengikuti kusrsus Marxisme pada awal kemerdekaan.

Seusai mengikuti pendidikan dan latihan di ASRI, oleh Mayjen Djokosujono, saya langsung dimasukkan di badan pendidikan “Marx House” di Pabrik Gula Padokan  Madukismo  di sebelah selatan Yogyakarta. Marx House adalah semacam kursus intensif tentang teori perjuangan Marxisme dan sosialisme yang diselenggarakan oleh aliansi organ gerakan, partai politik, organisasi Pemuda, wanita, buruh dan tani yang berhaluan sosialisme. Kegiatannya bertempat di rumah dan kantor administratuir pabrik gula Padokan (waktu itu Syahrir dan  Amir Sjarifuddin  belum berpisah) dan diantar langsung oleh LM Sitorus, Sekjen dari faksi Syahrir. Hal ini karena LM Sitorus juga salah seorang penghuni rumah kediaman Mayor Jendral Djokosujono itu.

 

Banyak orang  yang tinggal di rumah ini, antara lain Kolonel TB Simatupang, Kepala Staff III Markas Besar Tentara : Washingthon Siahaan lulusan Akademi Angkatan Laut dan Helder Nederland : Washingthon Siraet : dan Oloan Hutapea mantan aktor pemberontakan Tiga Daerah ( Pekalongan, Tegal, Pemalang ) tahun 1945-1946 , mantan pegawai pabrik gula Cepiring, Kendal.
 

Kebanyakan para  pengajar di Marx House adalah sarjana yang baru pulang dari Negara Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan, seperti Drs Setiajit, Drs Maruto Darusman, Gondo Pratono dan Rahmat Kusuma Brata. Ditambah para pengajar dari bekas Digulis yang pulang ke Indonesia melalui Australia seusai Perang Pasifik, yakni  Pak Jaetun dan Pak Abdul Rahman.


Materi dijadikan bahan pelajaran adalah ekonomi-politik, sejarah evolusi masyarakat (sosiologi berdasar materialisme-historis) dan filsafat (dialektika materialisme), sejarah gerakan buruh sedunia, sejarah gerakan Komunis Internasional, nasionalisme dan anti-imperialisme di Negara-negara jajahan, dan masalah manajemen organisasi.


Ada sejumlah peserta putri, diantaranya adalah Hermini (kemudian menjadi istri Roeslan Wijayasastra), Nyonya Abdul Rahman (putri Sarjono ketua CC PKI), Kushartini yang kemudian diperistri oleh Ir. Setiadi. Diantara peserta pria yang masih saya ingat adalah Oey Hay Jun dan RP Situmeang (kader Perbum, Persatuan Buruh Minyak), keduanya kemudian masuk anggota parlemen Orla. Ada juga seorang kawan yang bernama Munajat Wibisono, ia seperti saya , dari milsuk. Belakangan Munajat bergabung dengan Batalion Maladi Yusuf di daerah Blora pada waktu perang Kemerdekaan II (Aksi Militer Belanda 1948). (MDZ)