Fragmen

Saat KH Idham Chalid Bertemu Rasulullah di Penjara dan Selamat dari Hukuman

Sel, 17 Agustus 2021 | 03:15 WIB

Saat KH Idham Chalid Bertemu Rasulullah di Penjara dan Selamat dari Hukuman

KH Idham Chalid. (Foto: dok. istimewa)

Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, perjuangan bagi bangsa Indonesia tidak lantas selesai begitu saja. Beragam rintangan lain silih berganti bermunculan guna menghalangi kemajuan negara yang baru diproklamasikan itu.


Segenap bangsa Indonesia tentu saja tidak menginginkan kemerdekaan yang telah diperoleh itu direbut kembali oleh penjajah. Sebagaimana diketahui, Belanda yang sempat kehilangan otoritasnya di Negeri Zamrud Khatulistiwa itu ingin kembali mengambil alih selepas Jepang mengakui kekalahannya dari sekutu. Dari hal itu, muncul Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer 2 pada tahun 1948.


Karena serangan itu, bangsa Indonesia tidak terima dan jiwa patriotik pun muncul untuk melawan demi mempertahankan kedaulatan negara, tak terkecuali para kiai Nusantara. Mereka pun berjuang dengan caranya masing-masing. Di antara pejuang itu adalah KH Idham Chalid, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984.


Kiai Idham masuk dalam Dewan Banjar yang dibentuk Belanda dalam rangka melancarkan misinya menguasai Indonesia. Pembentukan dewan-dewan daerah itu guna meloloskan misi mereka untuk membuat federasi sehingga kekuatan Indonesia terpecah belah.

 

Pada mulanya, pihak Indonesia membiarkan badan. Namun, pesan Bung Hatta agar turut masuk dalam sistem tersebut untuk mewarnai kebijakan yang diputuskan. Kiai Idham pun terpilih menjadi salah satu anggota dewan tersebut dengan mendapatkan 40 suara dari 45 suara yang diperebutkan.


Dalam berjalannya waktu, dewan daerah yang dibentuk justru menentang kebijakan-kebijakan Belanda. Tak ayal, orang-orang yang mendukung pembentukan Indonesia sebagai negara republik, termasuk Kiai Idham, pun ditangkap.

 

Tentu saja hal tersebut membuat banyak masyarakat Kalimantan khawatir akan keselamatannya. Inspektur Gusti Miskat sebagai salah seorang yang kerap dimintai Belanda menginterogasi orang pun diminta banyak warga agar menjaga tokoh yang sudah dianggap sebagai Guru, sebutan untuk ulama di Kalimantan, itu.


Selama 40 hari ia ditahan. Di situ, ia mendapat siksaan yang sangat parah sampai membuat tulang punggungnya bengkok dan baru diketahui setelah bertahun-tahun kemudian. Betapa tidak, Kiai Idham itu ditendang ke sana ke mari seperti bola.

 

Ia juga menerima siksaan setrum kurang dari satu menit. Meskipun demikian, ada yang lebih menyakitkan dari itu, yakni saat banyak kawan-kawannya dan seorang perempuan disiksa serupa di depan matanya.


Suatu ketika, ulama kelahiran Amuntai, 27 Agustus 1922 M bertepatan dengan 5 Muharram 1341 H itu ditakut-takuti oleh Si Macan, penjaga sel dari Belanda yang sangat galak.


“Baca doa banyak-banyak, ya. Besok Guru akan kita kirim ke akhirat,” katanya dengan bahasa Belanda yang nyaring terdengar di muka lubang pintu, cerita Kiai Idham dalam bukunya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008).


Mendengar gertakan demikian, ia berpikir bahwa dirinya bakal ditembak mati. Kawan-kawan di kamar sampingnya memang sudah ada yang ditembak. Jangan-jangan besok itu memang gilirannya.


Kiai Idham langsung menjalankan nasihat Belanda itu. Selepas shalat Isya, ia pun menjalankan shalat hajat sebanyak 41 kali. Artinya, ia melakukan shalat 82 rakaat. Selama tiga hingga empat jam, ia menjalankan shalat 85 rakaat shalat sunnah ditambah tiga rakaat shalat witir di akhirnya.


Setelah itu, Kiai Idham pun mengistirahatkan tubuhnya. Saat itulah, ia bertemu dengan Rasulullah saw. Pertemuan itu dimulai dengan ajakan sepupunya yang ia kenal taat beribadah, yaitu H Abdul Manan yang saat itu masih hidup.

 

Salah satu amalan yang dilakukan sepupunya adalah membersihkan masjid saban Jumat. Meskipun ia seorang berada dengan toko yang dimilikinya, saat Jumat, ia sudah tiba di masjid pukul 09.00 pagi untuk membersihkan tempat ibadah itu selepas shalat tahiyatul masjid. 


Dalam mimpi itu, H Abdul Manan mengajak Kiai Idham bertemu Rasulullah. Kiai Idham sempat bertanya mengenai kelayakan pakaian yang ia kenakan mengingat pertemuan dengan seorang yang mulia itu. Sepupunya itu pun menenangkannya agar tidak perlu khawatir karena Rasulullah pun pasti memahami keadaannya saat itu.


Keduanya itu pun melewati suatu perguruan dengan satu kelas kosong yang di papan tulisnya terdapat tulisan nashrun minallah wa fathun qarib, sebuah kalimat yang ia isyaratkan sebagai kemenangan yang tak lama lagi akan diperoleh.


Tiba di sebuah tanah lapang yang sangat bersih, ia pun diminta duduk oleh sepupunya itu, persis di bawah sebuah pohon. Tetiba, datanglah Rasulullah dengan wajah yang bercahaya dengan berkain selimut batik. Sepupunya pun mengucapkan salam, “Assalamu‘alaikum ya Rasulullah.”


“Wa’alaikumusalaam,” jawab Kanjeng Rasul.


“Ayo, cium tangannya,” ajak H Abdul Manan kepada Kiai Idham.


Ia pun langsung mencium tangan Rasullullah.


Sepupunya itu pun mengenalkannya kepada Rasul. Rasul menjawab telah mengetahuinya.


Saat itu, Kiai Idham mengucapkan shalawat dan salam seperti yang biasa dibaca saat tasyahhud.


Rasulullah menepuk pundak kirinya sembari menyampaikan sabdanya, “Anak! Kamu selamat,” ujarnya singkat.


Kiai Idham pun bersyukur dengan mengucapkan hamdalah.


Setelah itu, sepupunya langsung mengajak Kiai Idham untuk kembali mencium tangan Sang Nabi. Setelah mencium tangan untuk kali kedua, Nabi pun pergi dari keduanya.


Setelah itu, ia semakin kuat dan percaya diri. Tidak ada lagi ketakutan dalam dirinya. Jika pun harus mati ditembak, itu adalah syahid, pikirnya.


Pagi tiba. Ia pun menerima kabar akan diserahkan ke polisi dan dikirimkan ke penjara. Pagi itu juga, ia dipindahkan ke penjara Kandangan dengan didahului acara timbang terima tahanan dari militer Belanda kepada Inspektur Polisi Gusti Miskat.


Kiai Idham pun selamat dari tembakan mati yang sempat diancamkan kepadanya.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad