Fragmen

Sejarah Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama

Ahad, 26 Mei 2019 | 01:00 WIB

KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya menyebutkan bahwa NU disebarkan para tokohnya dari surau ke surau. Tidak salah karena para tokoh tersebut adalah para ahli masjid. Mereka hidup dan tinggal dekat masjid. Dengan demikian, NU meletakkan pusat gerakkan melalui masjid. 

Hal itu bisa dibuktikan pada masa awal NU berdiri. Beberapa bulan setelah didirikan, pada 1926, NU mengadakan muktamar pertamanya di Surabaya. Kegiatan tersebut ditutup dengan pengajian umum di Masjid Ampel. Kegiatan tersebut dihadiri 10 ribu warga. Dua tahun berikutnya, pada momentum yang sama, diadakan hal serupa di tempat itu juga. 

Ketika muktamar NU bergeser ke barat, yaitu Semarang pada tahun 1929, kegiatan diakhiri hal serupa, yaitu pengajian umum yang dihadiri belasan ribu orang. Tahun berikutnya hal serupa berlangsung di Semarang. Tahun berikutnya di Cirebon. Lalu Bandung, Jakarta, dan seterusnya. 

Dari waktu ke waktu, NU terus bergerak menghadapi tantangan zaman. Para kiai kemudian membentuk lembaga khusus yang menangani masjid yang sekarang disebut LTMNU atau Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama. 

Menurut Ensiklopedia NU, lembaga tersebut bertugas menjalankan kebijakan NU di bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid. Secara resmi lembaga tersebut didirikan pada 12 Dzulhijjah 1390 atau 9 Februari 1971 di Surabaya. Pada waktu itu, nama lembaga tersebut adalah Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI). 

Para kiai kemudian mengubah HTMI menjadi Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI) pada Muktamar NU ke-31 di Solo (2004). Sedangkan nama LTMNU merupakan hasil Muktamar NU ke-32 di Makassar (2010). 

Tujuan LTMNU sebagaimana dijelaskan Ensiklopedia NU adalah revitalisasi masjid supaya masjid tak hanya menjadi tempat shalat, tetapi menjadi tempat yang selalu tecermin dalam doa para jamaahnya: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dini, wa afiyatal fi jasadi, wa ziyadatan fil ilmi wa barakatan firrizki, wa taubatal koblal maut, wa rahmatan indal maut wa maghfiratan ba'dal maut.

Penjabaran dari tujuan tersebut: Pertama: AIlahumma inni as’aluka salamatan fiddini. Masjid menjadi tempat supaya selamat agamanya sampai akhir hayatnya, aqidahnya Ahlussunnah wal Jamaah, syariahnya, mazahibul arba’ah, akhlaknya atau tasawufnya Junaidi al-Baghdadi dan al Ghazali;

Kedua, wa afiyatal fi jasadi. Melalui program ini, masjid dijadikan pusat kegiatan kesehatan. Program ini harus disinergikan dengan lembaga-lembaga lain.

Ketiga, wa ziyadatan fil ilmi. Masjid sebagai majelis taklim, tempat pemberdayaan pemikiran, dan tempat kiai mengajar atau memberi tausiyah, khususnya khutbah, dengan materi yang Iebih menyentuh kebutuhan masyarakat. 

Di masjid juga terdapat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), madrasah diniyah, atau sekolah umum di sampingnya.

Keempat, Wa barakatan fir rizki. Masjid sebagai tempat pemberdayaan ekonomi;

Kelima, wa rahmatan indal maut. Masjid sebagai tempat mengurus jenazah, pelatihan menangani jenazah, dan lain-lain;

Keenam, wa taubatan qoblal maut. Masjid sebagai tempat bertaubat, kembali kepada Allah;

Ketujuh, wa magfiratan ba'dal maut. Masjid sebagai tempat untuk tahlilan. 

Pada masa kepemimpinan KH Abdul Manan A. Ghani, yaitu pada 2010-2015, ketujuh program tersebut diperkuat kembali dengan melaksanakan pelatihan di daerah-daerah. LTMNU hampir tiap minggu mendatangi cabang-cabang NU dan PWNU untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya tujuh agenda tersebut. 

Untuk mendukung program-program tersebut, LTMNU menyelenggarakan pelatihan takmir masjid, pelatihan memandikan jenazah, pemberian identitas NU di masjid, seperti kalender dan jadwal waktu shalat berlogo NU, juga posko mudik lebaran berbasis masjid, dan Iain-lain. 

Para Ketua LTMNU dari masa ke masa adalah: KH Ahmad Syaikhu (1971-1981), KH Ayatullah Saleh (19711986), KH Achmad Syaikhu Rotib (1986-1991), KH lrfan Zidny (1991-1996), H M. Sutrisno Hadi (1996-2004), H Syarifuddin Muhammad (2004-2010), KH Abdul Manan A. Ghani (2010-2015), KH Mansur Syairozi (2015-sekarang). (Abdullah Alawi)