Fragmen

Sejarah NU Ikhbarkan Hasil Hisab dan Rukyat

Sel, 2 Februari 2021 | 05:45 WIB

Sejarah NU Ikhbarkan Hasil Hisab dan Rukyat

Logo Nahdlatul Ulama (NU).

Pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat. Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.


Namun, meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah (hari lahir 1 Februari) tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar). Karena wilayah keputusan ada di tangan pemerintah yang sah.


Terkait ikhbar tersebut, salah seorang ulama ahli falak, KH Ahmad Ghazalie Masroeri pernah menceritakan kepada Abdul Mun’im DZ (baca Fragmen Sejarah NU, 2017: 117) tentang KH Hasyim Asy’ari yang menegur menantunya KH Ma'sum Ali, ahli falak.

 

KH Hasyim Asy’ari melakukan teguran terhadap menantunya perihal hasil hisab dan rukyat yang diumumkan tanpa melalui pemerintah.

 


KH Ma'sum Ali Jombang, seorang ahli falak yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.


Pada suatu hari sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Ma'sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari kaget.


Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur, “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” Mendapat teguran dari mertuanya itu, Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadhu (hormat).


“Inggih (iya) romo kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”

 

 

“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.


“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Maksum.


“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.


“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.


Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.

 


Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.


Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri. Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.


Di antara ulama falak dari pesantren ialah KHR Ahmad Dahlan Al-Falaki Al Tarmasi (adik kandung Syekh Mahfuzh al-Tarmasi), KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi Kudus, KH Ma’sum Ali Jombang, KHR Ma’mun Nawawi Cibogo-Cibarusah Bekasi, KH Zubair Umar Salatiga, KH Misbachul Munir Magelang, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, KH Muhammad Manshur atau Guru Manshur Jakarta, KH Noor Ahmad, KH Ghozali Muhammad, dan lainnya.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon