Fragmen

Snouck Hurgronje dan Sebutan Santri

Jum, 21 September 2018 | 00:00 WIB

Snouck Hurgronje dan Sebutan Santri

Snouck Hurgronje (ilustrasi: Tirto)

Snouck Hurgronje, orang Belanda yang lahir 1857 dan wafat 1936 ini tidak begitu asing di telinga orang-orang Indonesia, khususnya yang menggeluti bidang sejarah. Sebagai penasihat penjajah Hindia-Belanda mengenai agama-agama Islam, Snouck memiliki banyak catatan-catatan penting mengenai Islam dan umatnya, termasuk pergerakan-pergerakan nasional yang dilakukan oleh ulama pesantren melawan penjajah.

Bahkan, Snouck pernah diutus oleh Hindia-Belanda untuk memata-matai aktivitas para ulama dan guru besar asal Nusantara yang sedang mengajar di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah). Ia berperan layaknya agen intelijen. Interaksinya dengan umat Islam membuahkan catatan-catatan penting sebagai bahan informasi penting untuk Hindia-Belanda.

Dalam keterangan yang diungkapkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), Snouck Hurgronje adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat Hindia-Belanda perihal segala sesuatu tentang agama Islam. Yang menarik, Kiai Saifuddin menekankan bahwa meskipun pengetahuan Snouck megenai Islam sangat banyak, ia tidak bisa disebut seorang santri ketika bertahun-tahun sedang mempelajari agama Islam.

Pengetahuannya tentang Islam hanya ditujukan untuk kepentingan spionase penjajah Belanda. Selain itu, ilmunya mengenai Islam juga tidak diorientasikan untuk kepentingan dakwah lanjutan sebagaimana tanggung jawab santri. Barangkali, Snouck cukup berjasa dalam ilmu pengetahuan sejarah karena catatan-catatan historisnya memberikan banyak informasi berharga terkait sejarah-sejarah Islam masa lalu.

Pengetahuannya tentang Islam menjadikan ia diangkat sebagai Guru Besar Islamologi pada Universitas Leiden Belanda. Suatu ketika, ia pernah menyamar di Makkah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghofur.

Hal itu dilakukan karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubung perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana. Khususnya  ketika Belanda cukup kewalahan menghadapi perang Aceh, perang Diponegoro, perang Imam Bonjol. 

Dari tujuan spionesnya itu, kalangan pesantren sangat keberatan kalau Profesor Belanda ini digolongkan sebagai santri. Sebutan santri untuk Snouck muncul ketika dia dianggap banyak berinteraksi dengan ulama, belajar Islam, dan melakukan banyak catatan tentang agama Islam. Namun, aktivitasnya tersebut tidak lain tercampur dengan tujuan-tujuan politik kekuasaan Hindia Belanda.

Dalam hal ini, jelas bahwa santri adalah mereka yang belajar ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk mengamalkan ilmu yang ia yakini kebenarannya. Bahkan, santri hendak mengembangkan ilmunya untuk tujuan membela dan mengembangkan Islam dengan baik dan benar melalui rujukan-rujukan kitab otoritatif.

Dalam beberapa catatan sejarah selama Indonesia terjajah, umat Islam khususnya kalangan pesantren kerap bersinggungan dengan penjajah karena sikapnya yang tidak mau takluk begitu saja. Bahkan, pesantren menjadi wadah pergerakan nasional untuk membebaskan diri dari kungkungan penjajahan.

Interaksi kalangan pesantren dengan intensitas cukup masif terjadi saat Indonesia dijajah oleh Nippon atau Jepang. Hal ini disebabkan, Jepang mempunyai perhatian khusus terhadap peran penting tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Sama halnya ketika Hindia Belanda menugasi Snouck Hurgronje.

Untuk menindaklanjuti sorotannya terhadap para kiai dan tokoh umat Islam, Jepang menempatkan sejumlah perwira Muslim untuk menempel para tokoh Islam sebagai agen inteligen Jepang (Beppan). Para intel ini tidak hanya mengawasi gerak-gerik para tokoh Islam, tetapi juga kerap mengikuti forum-forum pengajian.

Sebut saja Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun'im Inada. Nama terakhir punya tugas memepet Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Kala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali disertai Kolonel Horie, perwira Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam di Indonesia. (Buku Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 2011)

Salah seorang perwira Muslim Jepang ialah Nobuharo Ono yang mempunyai nama Muslim Abdul Hamid Ono. Ia bertugas mengawasi KH Hasyim Asy’ari yang dianggap oleh Jepang sebagai tokoh Muslim yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia.

Namun berjalannya waktu seperti disebutkan H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasjim (2011) memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH Wahid Hasyim, putra sulung Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, bersama KH Wahab Chasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. 

Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah Hadratussyekh digelandang dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Dalam kondisi menjajah atau perang, praktik spionase memang kerap dilakukan. Namun, praktik ini tidak selamanya membuahkan hasil karena para ulama lebih cerdik. Meskipun para mata-mata memahami bahasa Arab, kiai di kalangan pesantren lebih memahami bahasa Arab, termasuk ungkapan dan peribahasanya dari kata per kata sehingga strategi perlawanan tidak mudah untuk dipahami spionase. (Fathoni)