Fragmen

Wabah dalam Manuskrip Melayu

Sel, 31 Maret 2020 | 12:00 WIB

Wabah dalam Manuskrip Melayu

Ilustrasi penampakan virus corona saat pertama kali diteliti. (Foto: via Science Photo Library)

Virus Corona atau yang disebut juga Covid-19 tengah menjadi perbincangan masyarakat saban hari. Pasalnya, virus yang teridentifikasi kali pertama di Wuhan, Hubei, China itu telah menyebar ke seluruh penjuru dunia.
 
Tercatat sampai hari ini, sudah ada ratusan ribu korban yang terinfeksi virus tersebut. Tak ayal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan hal ini sebagai pandemik. Masyarakat Indonesia menyebutnya dengan wabah.

Wabah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V diartikan sebagai penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas (seperti wabah cacar, disentri, kolera; epidemi. Kata wabah sendiri dalam KBBI V tidak dianggap sebagai sebuah kata serapan dari Bahasa Arab.
 
Meskipun demikian, penulis meyakini bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Arab waba’. Dalam Kitab al-‘Ayn, waba’ diartikan sebagai tha’un, yaitu setiap penyakit yang umum. Misalnya, penduduk suatu daerah secara umum terkena wabah.

Lepas dari hal tersebut, setidaknya kata wabah dengan tiga bentuk, yakni wabah, berwabah, dan wabak, disebut 15 kali dalam manuskrip Melayu yang terdokumentasikan dalam Malay Concordance Project (MCP). 

Kata wabah disebutkan sekali dalam Syair Kiamat. Pun dengan kata berwabah dituliskan sekali dalam Syair Raja Damsyik. Sementara itu, kata wabak disebut 13 kali, yakni satu pada Kitab Takbir, satu pada Hikayat Iskandar Zulkarnain, dua pada Puisi-puisi Kebangsaan, dan sembilan kali pada Bustan al-Salatin koleksi Royal Asiatic Society.

Motif Wabah dalam Naskah Kuno Melayu

Dari 15 kata yang termaktub dalam manuskrip-manuskrip Melayu, ada beberapa konteks yang melatarinya. Pertama, konteks wabah dalam Syair Raja Damsyik (Dmsy.S 671b) koleksi H von de Wall yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
 
Wabah dalam manuskrip tersebut tidak bermakna secara konotasi penyakit yang tengah merebak, melainkan makna ‘merebak’-nya itulah yang diambil. Pilihan itu juga didasari atas akhir suku katanya, bah, agar sesuai dengan akhiran dari setiap baris dalam bait syair. Berikut petikan syair yang ditulis oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda itu.

Dicapai puteri bunga bergubah
Baunya harum tidak berwabah
Diambilnya air lalu disimbah
Rupanya elok segar bertambah

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa syair merupakan salah satu bentuk dari karya sastra lama. Salah satu cirinya adalah bentuknya yang terikat, yakni aaaa. Artinya, akhir dari setiap baris haruslah berbunyi sama.

Hal serupa juga terdapat dalam naskah Puisi-puisi Kebangsaan. Bedanya, kata wabak (bahasa Melayu dari wabah), menunjukkan makna aslinya sebagai sebuah penyakit yang merebak. Ada dua bait yang menyebut wabak. Berikut kutipan puisinya.

PK 298:9d  | Warta, utusan menjadi pembantu , wirakan Melayu di ini waktu , watan dijaga dengan bersatu, wabak yang jahat humban ke batu. |
PK 146:7b ... | Watas kebenaran dasarnya kita, wabak terputus kebangsaan di kota, wakafkan negeri tidak dicita, warta kebengisan tolakkan serta. | 

Naskah ini sudah disunting oleh Abdul Latiff Abu Bakar dengan judul Puisi-Puisi Kebangsaan 1913-1957 dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Kebangsaan Kuala Lumpur pada tahun 1987.

Konteks kedua dari wabah dalam naskah-naskah kuno Melayu adalah sebagai sebuah memori kolektif, meminjam istilah Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman, masyarakat Nusantara. Hal ini terdapat dalam Kitab Takbir (Tkbr 123:14). Berikut petikannya.

Dan jika mimpi tanah dimakannya tanah itu, alamat akan beroleh harta banyak adanya. Dan mimpi bumi itu, alamat ngerinya keturunan bala atau wabak dan raja-raja pun sangat aniaya. WalLāhu a`lām.

Penulis memahami teks tersebut jika ada yang bermimpi bumi dimakan, maka akan turun bala atau wabah. Karena hal tersebut, raja pun sangat bersusah payah menghadapi hal tersebut.

Hal tersebut bukan merupakan prediksi atau ramalan, tetapi sebagai memori kolektif, meminjam istilah Oman Fathurahman. Sebab, ada kemungkinan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika masa lampau sehingga hal tersebut ditulis dalam kitab itu.

Motif lainnya adalah sebagai cerita sebagaimana dalam naskah Syair Kiamat koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Dalam naskah syair yang disalin oleh Encik Husin Bugis itu disebutkan sebagai berikut.

Didatangkan Allah Tuhan Yang Baka
Besarlah wabah atas mereka
Mayatnya banyak tiada terhingga
Kepada sehari entah beberapakah 

Cerita di atas memang belum pernah terjadi. Tapi, hal tersebut sangat dimungkinkan mendasarinya pada sumber-sumber primer hadis. Sebab, beberapa kali Nabi Muhammad saw. menyampaikan berbagai tanda kiamat.

Berbeda dengan Syair Kiamat yang bersifat masa depan, kata wabak dalam konteks cerita juga disebutkan sebagai hal yang pernah terjadi di masa lampau, seperti termaktub dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Bustan al-Salatin.

Maka diturunkan atas mereka itu wabak, mati mereka itu melainkan yang dikehendaki Allah daripada mereka itu iaitu Syam dan Yafat dan Ham.
(Hikayat Iskandar Zulkarnain)

Dan pada Hijrah tujuh puluh sembilan tahun turun wabak ke benua Syam, terlalu sangat hingga hampir segala isi negeri itu akan binasa daripada sangat wabak itu.
(Bustan al-Salatin)

Syekh Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin, sebagaimana disebutkan pada kutipan di atas, menunjukkan bahwa wabah pada saat itu, yakni pada masa Sultan Abdul Malik Dinasti Umayah, sangat dahsyat hingga hampir semua orang meninggal akibatnya.

Di lain masa, Syekh Nuruddin juga menceritakan pada tahun 288 H, wabah yang mengerikan pernah terjadi di Azerbaijan. Saat itu, saking banyaknya manusia yang meninggal hingga membuat kain kafan langka. Akhirnya, banyak di antara mayit itu dikafani dengan kambeli, yakni kain kasar yang terbuat dari bulu domba.

Di samping itu, Al-Raniri pun mengisahkan kematian Sultan Yazid akibat wabah di Damaskus. Sultan Yazid yang dimaksud di sini adalah Yazid bin Abu Sufyan, seorang Gubernur Damaskus yang masih saudara dari Muawiyah bin Abu Sufyan.

Padahal saat itu, ia baru memegang tampuk kepemimpinan lima bulan 12 hari. Pernah juga wabah terjadi di Basrah. Saban hari, terdapat 70 ribu manusia meninggal akibatnya. “Tiada ada tinggal daripada mereka itu melainkan sedikit jua,” begitu tulis al-Raniri.

Ala kulli hal, dari data manuskrip tersebut, kita mengetahui bahwa wabah sudah terjadi sejak dahulu kala. Korbannya pun tak kalah banyaknya dengan hari ini, wabah Covid-19 yang menyerang ratusan ribu manusia dengan korban meniggal juga puluhan ribu.

Kita juga sudah diperingatkan bahwa kelak sebelum kiamat juga bakal banyak terjadi hal serupa. Tentu dari sini, kita dituntut untuk senantiasa menjaga diri kita dengan berlaku sehat sebagai ikhtiar untuk terhindar dari penyakit tersebut.
 
Hal lain yang tak boleh ketinggalan dari kita sebagai manusia yang beriman adalah berdoa, memohon perlindungan dan penjagaan dari marabahaya tersebut sebagai bentuk ikhtiar batin atau spiritual kita. Barulah setelah itu kita bisa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. sebagai Dzat yang mengatur segalanya.

Penulis: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad