Cox's Bazar, NU Online
Tragedi kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tak hanya memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya lari menerobos perbatasan Myanmar tapi juga menimbulkan duka mendalam terutama bagi anak-anak yang kehilangan orang tua.
Seperti dilaporkan Aljazeera, sekitar 1.400 anak Rohingya terpaksa menjadi yatim atau yatim-piatu, baik karena orang tua mereka terbunuh ataupun terpisah tanpa kabar keberadaannya hingga kini. Anak-anak ini ikut menyeberang ke Bangladesh bersama rombongan orang-orang dewasa.
Seperti yang dialami Rashid, bocah 10 tahun yang mesti menanggung beban berat hidupnya karena tak lagi punya ayah dan ibu. Semula dia tinggal bersama orang tua dan enam saudara kandung di Desa Shikderpara di Maungdaw, Rakhine.
Pada 25 Agustus 2017, keadaan berubah drastis. Rumah Rashid diserbu tentara, bersamaan dengan aksi pembakaran desa-desa di sana. PBB menyebut tindakan brutal militer Myanmar ini sebagai “pemusnahan etnis”.
"Itu hari Jumat. Saya meraih tangan kakak perempuan saya dan berlari menuju bukit terdekat. Setelah tentara pergi, saya kembali dan mendapati orang tua saya meninggal dunia," kata bocah itu.
Saat ini anak-anak berada dalam kondisi mengkhawatirkan di tenda-tenda pengungsian. Kawasan padat manusia, sampah, dan kekumuhan menambah risiko penyakit yang mengancam kesehatan mereka. Meskipun, para aktivis kemanusiaan kini sedang berusaha meringankan beban mereka, salah satunya dengan sejumlah kegiatan yang memulihkan anak-anak dari trauma. (Red: Mahbib)