Madinah, NU Online
Bukan semata berburu kebajikan yang berlipat ganda. Para jamaah dari berbagai negara rela memilih ibadah umrah saat Ramadhan. Ada keramahan dan nuansa berbeda ketika berada di Makkah dan Madinah. Berikut pengalaman Kiai MN Harisudin yang tengah melaksanakan ibadah umrah.
Sejumlah anak berebut menarik tangan jamaah. Mereka mengajak untuk bergabung bersama para jamaah Masjid Nabawi yang telah berjejer dua jam sebelum waktu Maghrib tiba.
Sejumlah anak berkulit gelap ini dengan sedikit memaksa menarik baju orang yang dijumpai. “Dan setelah saya tanya, yang bersangkutan adalah orang Afrika dan dilahirkan di kota Madinah. Dia mengajak saya untuk berbuka puasa di Masjid Nabawi, bagian tengah masjid,” kata Kiai Harisuddin, Rabu (23/5).
Dari perbincangan singkat akhirnya diketahui bahwa anak-anak ini kabarnya digaji selama Ramadhan, antara 1,5 hingga 3 juta. “Anak negro ini adalah sekian dari anak-anak Madinah yang lucu, ramah, dan menyenangkan, sehingga membuat para jamaah merasa senang dengan mereka, selain tentu alasan gratis berbuka puasa,” kata Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember, Jawa Timur tersebut.
Pemandangan saat berada di masjid memang mengangumkan, Puluhan ribu orang terlihat menyemut berjejer berhadapan. “Ini mengingatkan akan tradisi makan bersama di pesantren,” kenang Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Jawa Timur tersebut.
Menurut dosen pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Jember tersebut, menu takjil di dalam Masjid Nabawi adalah roti, kurma, kopi dan makanan ringan yang lain. “Tapi kalau di luar pelataran masjid, menu makanan lebih variatif, termasuk nasi dengan ikan daging yang lezat,” katanya.
Dalam pandangan Kiai Harisuddin, inilah yang membedakan suasana Ramadhan di berbagai tempat. “Nuansa inilah yang membuat orang dari berbagai negara akhirnya memilih berumrah di bulan Ramadhan,” ungkapnya. Suasananya memang membuat kangen, dan tentu saja hanya terjadi kala Ramadhan, lanjutnya.
Usai menyantap menu takjil, jamaah pun segera menunaikan shalat Maghrib berjamaah dan diteruskan dengan memakan nasi untuk berbuka di hotel masing-masing. “Waktunya pun agak panjang karena shalat Isya dilaksanakan pukul sembilan malam, waktu Saudi Arabia,” jelasnya.
Tentu, sebagian masyarakat khususnya mereka yang belum pernah menunaikan ibadah umrah akan berpikir bagaimana dengan kebersihan masjid usai buka puasa. Ternyata, lembaran plastik yang memanjang itu solusinya.
“Sebelum makanan digelar, lantai masjid ditutup dengan plastik memanjang dengan ukuran lebar sekitar satu meter,” jelasnya. Sedangkan panjang plastik bisa ratusan meter, sesuai panjang jamaah yang hendak menyantap menu takjil, lanjutnya
“Dan setelah merampungkan menu buka puasa, langsung dengan cekatan makanan dibersihkan dalam plastik yang panjang tersebut,” katanya.
Di sela menjelang buka, biasanya dimanfaatkan jamaah kanan kiri untuk saling menyapa. Akhirnya para jamaah bisa saling mengenal bahwa di antara mereka ada yang berasal dari India, Mesir, Irak, Tunisia, Somalia, Aljazair, Turki dan Afrika.
“Salah satu yang menarik adalah bertemu dengan jamaah dari Cap Town, Afrika Selatan,” kata tour leader PT Kanomas Jakarta ini. Nama jamaah dimaksud adalah Muhammad Shodiq. Ternyata, tempat tinggalnya sangat dekat dengan makam Syeikh Yusuf Al Makasari, ulama Indonesia yang tinggal di Cap Town Afrika Selatan karena dikejar Belanda pada masa penjajahan dulu.
Di luar itu semua, buka puasa ala takjil di Masjid Nabawi bersama puluhan ribu jamaah dari berbagai penjuru dunia, membawa kesan begitu dalam. Selain serunya buka dengan beraneka suku bangsa di dunia, jamaah juga bisa melahap makanan khas Arab.
“Pengalaman buka puasa bersama para tamu Allah yang mulia di bulan Ramadhan mulia inilah yang memberi nilai lebih dan bikin rindu,” pungkas utusan Pondok Pesantren Kota, Alif Laam Mim Surabaya tersebut. (Red: Ibnu Nawawi)