Internasional

Cegah Radikalisme, PCINU Rusia Bahas Nasionalisme

Rab, 16 Mei 2018 | 22:00 WIB

Cegah Radikalisme, PCINU Rusia Bahas Nasionalisme

Poster pengajian online PCINU Federasi Rusia

Moscow, NU Online
Teror kembali lagi mengguncang Indonesia, berturut-turut dari Mako Brimob sampai Polrestabes Surabaya. Hal ini yang mendorong PCINU Federasi Rusia dan Negara-negara Kawasan Eropa Utara untuk mengadakan pengajian online dengan tujuan untuk membentengi warga dari pengaruh radikalisme dan kembali memperkuat ilmu pengetahuan.

Pengajian online diselenggaran pada hari Ahad (13/5) pukul 21.00 WIB atau pukul 17.00 waktu Moscow. Pengajian kali ini langsung digawangi oleh Alfan Baedlowi, ketua PCINU Rusia sebagai moderator. Adapun Agus Pramono (Gus Pram), Rais Syuriyah PCINU Rusia sebagai pemateri.

Pengajian ini bekerjasama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia yang berada di Rusia dengan mengangkat judul Menjaga Nasionalisme di Negera Lain sebagai Bagian dari Ibadah. Output dari pengajian kali ini lebih kepada sebuah metode dakwah untuk menjaga generasi muda yang sedang menuntut ilmu di Rusia pada khususnya dan dunia internasional pada umumnya agar terhindar dari radikalisme.

Kajian pertama dalam pengajian ini membahas deskripsi nasionalisme dan hubungannya dengan ibadah ghairu mahdzoh. Dalam sebuah analisa yang pernah dilakukan oleh Gus Pram penanaman ideologi radikalisme garis keras dimulai dari generasi muda usia produkktif. Beberap sampling yang pernah dilakukan di kampus-kampus di wilayah Banten, hampir semua anak-anak muda yang tidak pernah mengenal atau membaca kitab dasar-dasar aqidah dan tauhid seperti kitab Sullamu al-Taufiq atau Safinatunnajah, sangat gampang terindoktrinasi sikap fanatisme berlebihan yang akhirnya menjadi radikal dalam berideologi.

Anak-anak muda yang tidak pernah membaca dua kitab tersebut dipastikan tidak akan pernah membaca kitab-kitab akidah akhlak. Bahkan lebih jauh lagi mereka tidak akan tahu referensi-referensi yang keluar dari konteks sanad keilmuan yang bersumber dari Rasululloh SAW. 

Penjelasan sanad keilmuan yang bersanad kepada Baginda Rasulullah sampai kepada Imam Abu Hasan al Ashari, Imam Al Ghazali sampai kepada Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikona Kholil Bangkalan hingga Hadratus Syaikh Hasyim Ashari. Juga tidak banyak anak-anak muda yang mengenal sejarah berkembangnya Islam di Indonesia yang pada zaman dahulu kala lebih dikenal dengan nama Nusantara.

Di era peralihan Khalifah Sayidina Ali dan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, Islam sudah terdengan di Nusantara, tepatnya pada 674. Namun, tidak berkembang. Sampai pada tahun 1292 Islam masih belum berkembang dengan pesat. Puncaknya pada tahun 1433 melalui ulama Syaikh Ibrahim Samar Khondi, Islam berkembang dengan pesat terutama di tanah Jawa. Bahkan di peralihan Khalifah Salahudin Al Ayubi Islam sudah berkembang di tanah Banten. Hal ini terbukti dengan ditemukannya prototipe transformasi pedang Zulfikar milik Sayidina Ali dengan pedang Damaskus Khalifah Salahudin Al Ayubi.

Hal itu membuktikan bahwa transformasi teknologi saat itu bersumber dari tokoh metalurgi pedang antara Khabab Bin Art sampai Ibu Ishaq al Kindi yang kesemuanya mewarisi sanad keilmuan Rasulullah maupun Khafaur Rasyidin. Fakta sejarah seperti ini tidak pernah diketahui oleh banyak generasi muda, sehingga bisa dipastikan anak-anak muda yang tidak pernah mempelajari kajian sejarah keislaman dan sanad keilmuan tidak akan pernah tahu dunia tasawuf.

Menurut Gus Pram yang juga Dosen Teknik Metalurgi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ilmu pengetahuan berkembang dari transformasi Ilmu Tasawuf kepada Metodologi Keilmuan, sehingga terciptalah inovasi-inovasi keilmuan baru. Hampir semua ilmuwan yang bersanad kepada Majelis Ilmu Rasulullah mengembangkan ilmu baru bersandar kepada Tasawuf, seperti Syaikh Jabar Ibnu Hayan penemu Ilmu Kimia atau Syaikh Razaz Al Jazari yang ahli pada bidang Teknik Mesin.

Menurut Gus Pram salah satu penyebab 'kesesatan berpikir' adalah tidak runut dalam menempatkan dan mempelajari referensi. Jika dilakukan berulang-ulang maka rentan terhadap 'kesesatan perilaku'. Hal ini terindikasi dari banyaknya literatur maupun buku referensi yang tidak ada garis sambung terhadap sanad keilmuwan Rasulullah yang memicu fanatisme berlebihan. Dengan lepasnya sanad keilmuan Rasulullah, perilaku maupun sikap seseorang akan cenderung tertutup  dan merasa paling benar sendiri.

Hal semacam itu pernah juga terjadi di masa perjuangan Rasulullah sampai pada masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, yaitu Dhil Khuaisir dan anak didiknya yang membunuh Sayidina Ali yaitu Abdurrahman Ibn Muljam. "Barangsiapa berbuat kerusakan di muka bumi maka ia telah mengalami kesesatan tauhid," kata Gus Pram.

Pada akhir pemaparan materinya, Gus Pram berpesan untuk anak-anak muda agar berhati-hati dalam memilih guru. Hendaknya memilih orang yang dipandang berilmu dengan indikasi akhlak dan etikanya. Pesan ini merupakan deskripsi dari kitab Al-Adab Al-Alim Wa al-Muta’alim karya Hadratus Syaikh KH Hasyim Ashari.

"Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin dideskripsikan 'buah dari Ilmu adalah akhlak', sehingga akhlak adalah barometer keilmuan seseorang," pungkas Gus Pram. (Red: Kendi Setiawan)