Internasional

Delapan Akar Masalah Ini Sering Picu Konflik Etnis dan Agama di Asia

Sel, 9 Agustus 2022 | 15:15 WIB

Delapan Akar Masalah Ini Sering Picu Konflik Etnis dan Agama di Asia

Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali. (Foto: NU Online/Indi).

Chiang Mai, NU Online
Konflik etno‐religius merupakan konflik yang melibatkan isu etnis dan agama. Agama, etnik, maupun ras sering menjadi alat pemicu kekerasan. Sentimen etnis dan agama ini sangat berbahaya karena berpotensi memiliki jangkauan konflik berkepanjangan. Setidaknya ada delapan akar masalah yang sering picu konflik etnis dan agama.


Hal itu disampaikan oleh Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, saat membawakan materi “Religious and Cultural Identities: The Roots of Ethno Religious Conflict in Asia”, pada program Young Ambassdors of Peace in Asia (PPA) 2022 yang digelar di Chiang Mai, Thailand, Senin (8/8/2022).

 

Pertama, sentralisasi identitas. Lian menjelaskan, operasi dan diskriminasi satu atau lebih kelompok etnis dan agama menyebabkan frustasi akan kebutuhan identitas di tengah masyarakat. Hal ini dapat mengarah pada timbulnya konflik agama yang juga sebagai komponen identitas.

 

"Kedua adalah konflik intra-state yang bisa terjadi ketika orang-orang dari kalangan agama atau budaya berbeda hidup berdekatan atau disatukan dengan batas-batas buatan," tandasnya.

 

Ketiga, sentralisasi agama dan institusi keagamaan. Menurut Lian, sentralisasi agama dan institusi keagamaan terjadi ketika agama menjadi salah satu karakter identitas sentral masyarakat dan mewakili porsi signifikan dari masyarakat.

 

“Hal itu, membuatnya memiliki kesempatan untuk memproses legitimasi moral serta kapasitas untuk menjangkau dan memobilisasi seluruh pengikut komunitas,” kata aktivis yang fokus membangun perdamaian di Poso Sulawesi Tengah itu.

 

Keempat, penggunaan narasi agama. Lian menjelaskan, hal tersebut mencangkup penggunaan teks dan gambar. Sebagai sumber legitimasi yang kuat dan absolut, agama melalui narasi-narasi ketuhanan kerap kali disalahgunakan dan menjadi pemicu konflik etnis dan agama.

 

"Kelima adalah kekuatan identitas. Hal ini terjadi ketika aktor tertentu mulai memanipulasi identitas agama dan suku yang berpotensi menimbulkan kecurigaan dan kekerasan," imbuhnya.

 

Keenam, dampak kolonialisme. Beberapa komunitas terganggu dengan trauma akan etno-religius yang disebabkan oleh kolonialisme dan imperialisme. Pada zaman penjajahan, untuk mengontrol dan mengatur masyarakat lokal, penjajah menggunakan strategi "Devide and rule" atau politik adu domba terhadap kelompok-kelompok tertentu.

 

"Hal ini menciptakan kesengsaraan dan permusuhan di antara komunitas etno-religius," tambahnya.

 

Ketujuh, krisis legitimasi. Dalam konteks ini, Lian melihat bahwa masyarakat dihadapkan pada krisis legitimasi yang sangat mungkin memicu serangan terhadap legitimasi sosial politik dan kinerja ikonik pemerintah terutama dengan ideologi agama.

 

Kedelapan, pemahaman kitab suci. Konflik ini, ujar dia, disulut dengan sentimen agama. Hal ini kerap kali memicu adanya justifikasi bahwa suatu agama dianggap paling benar.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi