Internasional

Demo Antipemerintah di Irak, 65 Meninggal dan Ribuan Terluka

Sab, 5 Oktober 2019 | 12:30 WIB

Demo Antipemerintah di Irak, 65 Meninggal dan Ribuan Terluka

Para pengunjuk rasa ketika hendak memasuki Zona Hijau di Baghdad, Irak. (Foto: Anadolu Agency/Murtadha Sudani)

Baghdad, NU Online
Warga Irak menggelar aksi demo besar-besaran di ibu kota Baghdad dan beberapa kota lainnya. Selama aksi protes sejak 1 Oktober itu, sedikitnya 65 orang meninggal dunia dan 2.500 lainnya terluka. Anggota keamanan Irak dilaporkan juga menjadi korban menjadi korban tewas, namun tidak ada informasi detail mengenai rinciannya. 
 
Massa turun ke jalan memprotes tingginya korupsi, pengangguran, dan buruknya layanan publik di bawah pemerintahan Perdana Menteri (PM) Adel Abdel Mahdi. 
 
Pada Jumat (4/10) kemarin, massa pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung Kementerian Perminyakan dan Industri. Mereka menuntut agar PM Mahdi mengundurkan diri, perbaikan kehidupan, dan mengakhiri praktik korupsi yang merajalela.
 
"Kami akan terus berdemo sampai pemerintahan tumbang," kata seorang lulusan universitas yang belum mendapat pekerjaan, Ali (22).
 
"Saya tak punya apa pun kecuali 250 lira (US$ 0,20) di saku saya sementara pejabat-pejabat pemerintah punya jutaan," cetusnya seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (4/10)
 
PM Mahdi mengimbau agar masyarakat tetap tenang dalam menyikapi kasus korupsi. Dalam pidato pertamanya sejak terjadinya aksi demonstrasi, PM Mahdi menyatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi tersebut sebagai 'pengrusak negara, seluruh negara'.
 
Alih-alih merespons tuntutan para pengunjuk rasa, PM Mahdi justru membela pencapaian yang diraih di bawah pemerintahannya. Dia juga berjanji memberikan tunjangan bagi keluarga yang membutuhkan dan meminta waktu untuk menerapkan reformasi, sebagaimana yang dijanjikan tahun lalu.
 
Sebelumnya, PM Mahdi menerapkan jam malam di Baghdad dan beberapa kota lainnya di Irak sebagai respons atas aksi-aksi demo tersebut. Namun, kebijakan tersebut dicabut pada Sabtu (5/10) mulai pukul 05.00 waktu setempat.
 
Ulama berpengaruh Irak yang pernah menjabat Komandan Milisi Shiah, Moqtada Sadr, menyerukan agar PM Mahdi mengundurkan diri untuk menghindari korban meninggal lebih banyak lagi.
 
"Pemerintah harus mengundurkan diri dan pemilihan awal harus diadakan di bawah pengawasan PBB," katanya dikutip dari laman AFP. 
 
Sementara, dalam pernyataan tertulis, seperti diberitakan Anadolu Agency, Sabtu (5/10), mantan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi juga menuntut Mahdi mengundurkan diri dan menyerukan pemilihan dini.
 
Penulis: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan