Internasional

Gencatan Senjata Berakhir, Akademisi Nilai PBB Impoten Tangani Perang Israel-Palestina

Sen, 4 Desember 2023 | 22:00 WIB

Gencatan Senjata Berakhir, Akademisi Nilai PBB Impoten Tangani Perang Israel-Palestina

Antropolog New York University Amerika Serikat Ismail Fajrie Alatas saat berbicara pada Muktamar Pemikiran NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Israel kembali meluncurkan serangan membabi buta di Jalur Gaza, Palestina setelah berakhirnya gencatan senjata pada Jumat (1/12/2023). Berdasarkan laporan terbaru, serangan Israel sejak kembali dimulainya operasi militer itu bahkan telah menewaskan sekitar 800 orang.

Antropolog dari New York University, Amerika Serikat Ismail Fajrie Alatas menilai serangan tersebut merupakan kejahatan perang yang memerlukan kecaman sekeras-kerasnya dan tindakan hukum yang tegas.

Namun demikian, ia menilai bahwa sistem organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kurang demokratis dan adanya hak veto beberapa negara membuat Dewan Keamanan PBB menjadi impoten dalam menangani konflik ini.

“Dengan adanya hak veto yang diberikan kepada beberapa negara itu menjadikan security council atau Dewan Keamanan PBB dalam ini sangat-sangat impoten untuk menghadapi masalah ini,” jabar dia kepada NU Online, di Jakarta pada Ahad (3/12/2023).

Menurutnya, peristiwa itu bukan hanya tragedi sektarian, tapi tragedi kemanusiaan yang harus menjadi menjadi perhatian semua pihak. 

"Ini bukan hanya sebatas agama atau entitas maupun negara, tapi ini tragedi kemanusiaan. Maka apa yang kita lihat setelah selesainya ceasefire (gencatan senjata) dan kembalinya bombardir yang menjatuhkan banyak korban sangat mengkhawatirkan dan perlu kita kecam," ungkap Anggota Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

Menanggapi situasi ini, Bib Aji, sapaan akrabnya, menekankan pentingnya terus menyuarakan ketidakadilan di media sosial. Ia melihat bahwa melalui kampanye di media sosial, opini publik dunia mulai berubah dan mengecam tindakan Israel.

Meski tampaknya masih jauh dari hasil konkret, kecaman beberapa negara dan opini publik yang berubah setidaknya dapat menjadi langkah awal menuju penyeimbang melawan bias pemberitaan media barat selama ini.

“Apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia-manusia yang memiliki kemanusiaan adalah terus menerus menyuarakan ketidakadilan ini di social media karena belakangan ini Israel mulai “kalah dalam public relations” karena begitu masif kampanye di social media dari social media warganet di seluruh dunia yang mengecam keras Israel,” terangnya.

Ia berharap agar upaya ini dapat membantu merestorasi keadilan dan memberikan tekanan internasional yang dapat menghasilkan perubahan positif dalam penanganan konflik di Timur Tengah.

“Di Amerika Serikat sendiri, yang tadinya mengkritisi Israel dianggap sebagai hal tabu dan tidak ada yang berani, sekarang orang sudah mulai berani. Ini mungkin hal kecil yang bisa kita lakukan, karena saya pikir berharap banyak pada organisasi-organisasi internasional itu kayaknya ada masalah struktural yang belum selesai,” pungkas dia.