Internasional

Israel Dikabarkan Cemas jika Joe Biden Menang Pilpres AS

Sab, 7 November 2020 | 07:00 WIB

Israel Dikabarkan Cemas jika Joe Biden Menang Pilpres AS

Capres AS Joe Biden. (Foto: Paul Sancya/AP)

Jakarta, NU Online
Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) mendapat perhatian dunia, khususnya pengaruh kemenangan Joe Biden-Kamala Harris dan Donald Trump-Mike Pence terhadap kebijakan politik di kawasan Timur Tengah, termasuk hubungan Palestina-Israel yang banyak dipengaruhi oleh AS.


Bila Joe Biden menang Pilpres AS, Israel dikabarkan mengungkapkan kecemasannya soal hubungannya dengan Palestina.


Menteri Urusan Permukiman Yahudi, Tsachi Hanegbi seperti dikutip Harian Kompas edisi Sabtu (7/11) menyebut, terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS akan memaksa Israel membuka dialog baru tentang kesepakatan atas solusi Palestina.


Dikutip CNN, Perjanjian damai antara Israel dengan negara-negara di Timur Tengah yang diprakarsai Trump pada awal 2020 dinilai sebagai salah satu capaian yang menentukan.


Perjanjian yang bertujuan menyelesaikan konflik Israel-Palestina itu merupakan kesepakatan pertama yang berhasil dibahas negara-negara terkait dalam dua dekade terakhir.


Kendati begitu, Palestina mencap perjanjian itu sebagai pengkhianatan karena mengabaikan Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002 yang menginstruksikan penarikan Israel dari wilayah Tepi Barat, Gaza, Dataran Tinggi Golan dan Lebanon.


Langkah Trump yang secara sepihak mendukung klaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan legitimasi permukiman di Tepi Barat yang dianggap ilegal di bawah hukum internasional juga dinilai merusak negosiasi dengan Israel.


Sedangkan Biden menyebut pendekatan Trump terhadap Israel dan Palestina sebagai upaya yang menentang unilateralisme. Ia berjanji akan mendorong pendekatan serupa dengan Inisiatif Perdamaian Arab dalam menangani konflik ini.


"Biden menentang langkah sepihak oleh kedua belah pihak yang merusak solusi dunia negara," demikian pernyataan di situs kampanyenya.


Jika terpilih, ia berjanji akan mengembalikan dukungan ekonomi dan kemanusiaan kepada Palestina, membuka kembali misi Organisasi Pembebasan Palestina di Washington, dan membuka Konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem. Kendati begitu, rencana ini bisa jadi dihadang dengan pendukung vokal Israel di Washington.


Biden pun sesungguhnya punya resolusi akhir yang serupa dengan Trump terkait masalah Israel-Palestina. Hanya saja ia tak setuju dengan pendekatan yang digunakan Trump dalam menyelesaikan polemik ini.


Namun, yang lebih berbahaya menurut Hanegbi ialah kemungkinan ada perubahan sikap AS terhadap Iran.


Seperti diketahui, tercapainya kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) tahun 2015 lalu adalah ketika Joe Biden menjabat Wakil Presiden AS di era Presiden AS Barack Obama.

 

Tidak sedikit pengamat memprediksi, jika berhasil menghuni Gedung Putih, Biden bisa jadi menghidupkan Kembali JCPOA yang dibatalkan secara sepihak oleh Donald Trump pada Mei 2018 lalu.


Seperti diketahui juga, jajak pendapat yang dilakukan stasiun televisi Saluran 24 Israel pada akhir Oktober 2020 lalu menunjukkan 63,3 persen warga Israel mendukung Donald Trump, sedangkan hanya 18,8 persen yang mendukung Joe Biden.


Hanegbi dalam wawancara dengan stasiun televisi Saluran 13 Israel mengungkapkan kecemasannya atas penghitungan suara Pilpres AS yang semakin menunjukkan peluang besar Biden menuju Gedung Putih, markas Presiden AS.


Dilansir CNN, Biden mengaku akan mengembalikan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), kesepakatan nuklir dengan Iran di era Obama. Sejak itu sanksi AS yang berperan besar dalam ekonomi Iran kembali diterapkan.


Industri di AS dilarang menjual pesawat dan suku cadang ke perusahaan penerbangan Iran. Sanksi embargo kesepakatan dengan negara AS kepada Iran juga ditetapkan.


"Jika Iran kembali memenuhi kewajiban nuklirnya, saya akan masuk kembali ke JCPOA sebagai titik awal untuk bekerja bersama sekutu kami di Eropa dan kekuatan dunia lainnya untuk memperpanjang batasan kesepakatan nuklir," kata Biden kepada Kode Aturan Federal (CFD).


Janji Biden ini dinilai menjadi alasan di balik penolakan Iran kembali berunding dengan Gedung Putih di bawah kepemimpinan Trump. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif berulang kali mengatakan pihaknya tidak akan lagi berunding dengan Trump.


Namun situasi ini akan sulit jika Trump kembali terpilih. Iran mau tak mau harus menerima tawaran perundingan Trump berkaca pada tantangan ekonomi yang dijalani empat tahun terakhir.


Pewarta: Fathoni Ahmad
​​​​​​​​​​​​​​Editor: Muchlishon