Internasional

Kandungan Manuskrip Nusantara Belum Begitu Bunyi di Mancanegara

Ahad, 1 Desember 2019 | 18:15 WIB

Kandungan Manuskrip Nusantara Belum Begitu Bunyi di Mancanegara

Ilustrasi: (via sm3ny.com)

Jakarta, NU Online
Ribuan manuskrip Nusantara masih belum tergali secara mendalam menjadi sebuah kajian utuh, terlebih lagi dalam bidang keagamaan. Pesantren-pesantren tua dapat dipastikan menyimpan naskah-naskah yang pernah ditulis oleh para kiainya di zaman dahulu.

Filolog Muhammad Nida Fadlan menyampaikan bahwa meskipun bersifat lokal, jika digarap secara serius, manuskrip dapat menjadi sumber pengetahuan penting yang dapat memberikan sumbangsih untuk khazanah keilmuan.

“Kalau digarap secara serius dan kritis bisa menjadi pengetahuan,” katanya saat menjadi narasumber pada Kajian Online yang digelar oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Inggris di Southampton, Inggris, Ahad, (1/12).

Nida mengaku pernah diingatkan oleh seorang pengkaji manuskrip tentang pentingnya mengangkat khazanah lokal tersebut. Pasalnya, waktu itu Nida berseloroh hanya mempresentasikan kiai lokal.  “Dia marah karena dia menyampaikan bahwa Syekh Abdur Rouf Singkel itu juga dari kampung,” ceritanya.

Ia juga meneliti seorang kiai lokal dari Kuningan, yakni Kiai Hasan Maolani. Namun, kiai tersebut juga sudah disebut oleh sejarawan Drewes. Artinya, kata Nida, jika kiai atau khazanah lokal itu diteliti secara mendalam, serius, dan digali terus-menerus, hal itu bahkan memiliki citra internasional.

Tak ayal, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu meminta para mahasiswanya mencari manuskrip yang ada di kampungnya masing-masing untuk dijadikan sebagai salah satu korpus penelitiannya.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa sumber lokal sangat penting untuk dikaji sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap kampung sendiri. Lebih dari itu, hal kecil juga tidak dapat disepelekan begitu saja mengingat kemungkinannya menjadi pelengkap dari hal-hal besar.

“Kita mengkaji sejarah itu tidak hanya yang keren saja, tetapi juga orang kecil yang puzzle itu kalau disatukan menjadi sebuah kelengkapan sejarah,” kata alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon itu.

Pengurus PCINU Inggris Munawir Aziz yang bertugas sebagai moderator itu juga menyatakan bahwa kajian tersebut menjadi tantangan para santri. Hal yang tak kalah penting dari itu adalah menginternasionalkannya. Artinya, kajian atas khazanah lokal harus ditulis dengan bahasa dunia.

 “Tantangan santri di seluruh dunia bagaimana kita bisa menggali sesuatu lokal dengan bahasa universal,” katanya.

Sebab, jika hanya ditulis dengan bahasa lokal saja, menurutnya, tidak terdengar gaungnya sehingga bahasa internasional perlu digunakan dalam hal ini agar khazanah lokal dapat terdengar, terbaca, dan dipelajari juga oleh masyarakat luas.

Value-nya lokal tetapi bahasanya internasional. Ini prosesnya harus imbang. Kalau kita hanya mendialogkan dengan bahasa lokal itu ya tidak bunyi,” pungkasnya.
 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan