Internasional

Kurma di Ladang Salju: Melihat Geliat Islam di China

Ahad, 4 Juni 2017 | 09:02 WIB

Harbin, NU Online
Di tahun 2017 ini adalah yang pertama kalinya saya menjalani hari-hari pada bulan Ramadhan di negeri orang. Di Harbin, China sekarang ini saya merasakan suka-cita yang penuh warna. Ada perasaan rindu pada suasana di kampung halaman, saya bisa melihat dari dekat tradisi-budaya bangsa lain, serta masih banyak lagi kejutan-kejutan yang tiba-tiba saya temukan.

Kota Harbin merupakan ibu kota Provinsi Heilongjiang, berada di sebelah timur laut China. Salah satu tempat paling indah di Asia Timur laut ini terkenal dengan sebutan 'Kota Es'. Hal ini karena musim dinginnya yang panjang, dan menjadi destinasi wisata yang paling diburu oleh para pelancong dunia, khususnya di musim winter.

Suhu rata-rata musim dingin di Harbin adalah minus 16,8 derajat Celsius, dengan kemungkinan suhu paling rendah mendekati minus 40 derajat Celsius. Pada musim dingin di awal tahun ini, saya pun sudah mencicipi dinginnya Harbin. Sangat dingin.

Sementara kalau di Indonesia, misalnya, saya paling jauh mendengar daerah yang paling dingin maksimal mencapai minus 5 derajat Celsius, di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Adapun suhu rata-rata di musim panas di Harbin adalah 21,2 derajat Celsius. Kurang lebih sama dengan di Indonesia, bukan.

Dalam artikel ini saya ingin menceritakan suasana keislaman di Kota Harbin, khususnya pada hari-hari di bulan suci Ramadhan. Saya juga tertarik bertutur tentang kondisi alam di China bagian utara ini, yang menurut saya cukup menantang ketika dikaitkan dengan kajian fikih.

Saya memulai dari kisah pengalaman saya, ketika pertama kali masuk ke Kota Harbin. Saat itu pada akhir bulan September 2016. Saya merasakan hawa dingin yang berhasil menyentuh sekujur tubuh. Pakaian yang saya kenakan sejak perjalanan dari Indonesia tidak mempan untuk sekedar menahan cuaca.

Sebagai anak kampung yang pernah belajar di pesantren, imajinasi saya membawa kepada pembahasan fikih pada bab, salah satunya, “maskh al-khuffain” (mengusap dua sepatu). Ketika di Pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari (1994-1999), suatu saat pelajaran kitab-kitab fikih yang saya ikuti, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, al-Iqna’ dan seterusnya, sampai pada pembahasan “maskh al-khuffain”.

Dalam ajaran Islam, khususnya sebagaimana yang sudah dijelaskan secara ditail di dalam ilmu fikih, dalam kondisi tertentu seperti ketika di perjalanan atau ketika cuaca sedang sangat dingin, maka ketika kita berwudhu dibolehkan tanpa harus membuka alas kaki. Tetapi cukup mengusap alas kaki di bagian atasnya.

Mengenai tata-cara “maskh al-khuffain” ini sudah ada aturan yang khusus dan rinci. Saya tidak akan masuk di pembahasan ini dengan ditail. Silahkan Anda melihat sendiri.

Khusus dalam kasus ini, saya ingin menggaris-bawahi dua hal. Pertama, sekali lagi ini menunjukkan bahwa ajaran Islam itu memudahkan bagi penggunanya (user). Kalau kita mengerti dengan baik perintah dan ajaran Tuhan, khususnya sebagaimana yang sudah dikupas oleh para ulama dan terangkum dalam kitab-kitab fikih, maka dalam kondisi-kondisi yang tidak normal pun sudah disediakan panduan dalam menghadapinya.

Kedua, meskipun hal ini sudah dikatakan oleh para pakar tetapi juga baik saya tegaskan sekali lagi, bahwa rumusan fikih yang terangkum dalam kitab-kitab karya para ulama sekitar 1000 tahun yang lalu itu semangat (kandungan)-nya sangat global. Maksud saya, fikih sudah di-disain akan bisa berbicara dalam kondisi yang beragam—kapan dan di mana pun.

Karena itu, dinamika para pengkaji fikih di satu negara terkadang akan berhadapan dengan rasa bosan, karena objek yang dibicarakan tidak ditemukan. Di Indonesia, misalnya, ada fenomena yang sudah dibicarakan di dalam fikih, namun kenyataan di lapangan tidak di temukan. Hal ini juga sangat mungkin terjadi di negara lain. Artinya, ada kasus-kasus tertentu yang sudah disinggung dalam Qur’an, Hadis dan juga rumusan fikih, namun kenyataan riil di lapangan nihil.

Di sini, saya merasa menemukan momentum bagi alasan untuk mengaplikasikan pembahasan “maskh al-khuffain” ketika berkesempatan kuliah di Harbin, China, yang memang memiliki cuaca dingin yang ekstrim.

Terlebih pada bulan Ramadhan ini, saya juga mendapatkan pemandangan unik dan khas seputar aktifitas umat Islam di Harbin. Detik-detik menjelang berkumandangnya waktu maghrib adalah moment paling mudah untuk menyaksikan ekspresi kegiatan keislaman. Di masjid, saya menemukan pemandangan yang jarang saya jumpai di negeri Tirai Bambu ini.

Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, umat Islam mulai berdatangan di masjid. Mereka berbusana muslim, berbeci dan berjubah khas China. Dan bagi muslimah, seperti di Indonesia, mereka mengenakan pakaian rapih lengkap dengan jilbab. Saya sampai lupa sebagai kaum minoritas di negeri orang.

Bagi umat Islam, event berbuka puasa memang menghadirkan beragam rasa dan membawa dampak kegiatan sampingan. Seperti yang saya temukan di Masjid Daowei, Harbin, waktu menjelang berbuka puasa dimanfaatkan oleh jamaah untuk mengkaji keislaman. Seperti halnya kegiatan yang dengan mudah kita jumpai di Indonesia, imam masjid bertindak sebagai guru dalam pengajian.

Kegiatan seperti ini sekaligus bermakna sebagai ajang silaturahim bagi sesama umat Islam. Saya juga melihat,  di antara mereka terlibat saling melayani, berbagi sekedar makan untuk ifthar (sesuap makanan atau seteguk minuman untuk menyudahi berbuasa), dan lain sebagainya.

Dibandinkan dengan di Indonesia, durasi dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan di China lebih lama. Pada puasa ke sembilan di bulan Ramadhan tahun ini, misalnya, waktu Imsak jatuh pada pukul 01.55 dini hari dan waktu Maghrib pukul 19.26 waktu setempat. Waktu di China sejam lebih cepat katimbang di Indonesia.

Satu lagi, biasanya di are masjid—atau kalau perlu di salah satu bagian ruangan di bangunan masjid—terdapat semacam kios-kios yang menyediakan pakaian muslim dan masakan halal. Makanan dan daging yang dijual di sini, 100 persen halal.

Biasanya, orang-orang Pakistan yang berada di Harbin hanya percaya pada status label halal pada daging yang dijual oleh pedagang di lokasi masjid. Adapun terhadap makanan halal yang dijual di restoran muslim, yang cukup banyak tersedia di Harbin, mereka kurang percaya.

Mengenai hal ini, saya pernah bertanya, mengapa mereka meragukan kehalalan daging yang dijual oleh restoran muslim, yang rata-rata pemiliknya adalah suku muslim dari daerah bagian barat China. Mereka sebenarnya tidak ragu bahwa yang dimasak adalah danging ayam, daging kambing, atau daging sapi. Hanya saja mereka kurang yakin, apakah hewan itu disembelih oleh umat Islam dengan menyebut nama Tuhan, tau jangan-jangan ternyata juga danging yang djual di pasar umum.

Rupanya, masalah status penyembelihan hewan ini jadi persoalan serius bagi umat Islam di Pakistan. Saya menjadi mengerti, kenapa Fazlur Rahman (m. 1988), pemikir Islam asal Pakistan di salah satu kajianya membahas tentang penyembelihan hewan secara mekanis. Bagia dia, hewan hasil sembelihan mekanis itu halal (1967), dengan merujuk pada fatwa Imam Syafi'i. Pendapat Rahman ini dikutuk oleh para kathib dan imam masjid di mimbar Jumat.

Demikianlah, setiap komunitas yang ada di dunia ini memiliki dinamika tersendiri. Tidak terkecuali umat Islam minoritas di Harbin, China. Selamat menjalankan ibadah puasa. (Ali Romdhoni, dosen FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Mahasiswa doktoral di Heilongjiang University, China)