Internasional

Nestapa Eks Pendukung ISIS: Ditahan Hingga Ditolak Negara Asal

Rab, 14 Agustus 2019 | 08:00 WIB

Nestapa Eks Pendukung ISIS: Ditahan Hingga Ditolak Negara Asal

Kamp pengungsian pendukung ISIS di Al Hol, Suriah. (Delil Souleiman/AFP Photo)

Jakarta, NU Online
Eks pendukung kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS) memiliki nasib yang berbeda-beda, setelah kelompok teroris tersebut dikalahkan pada Maret lalu. Ada yang beruntung karena negara asalnya menerimanya kembali, namun lebih banyak yang ‘buntung’ karena mereka ditolak negara asal dan status kewarganegaraannya dicabut.

Shamima Begum, seorang remaja putri berusia 19 tahun asal London, Inggris, adalah salah satu contohnya. Otoritas Inggris menolaknya ketika Shamima ingin pulang ke negara asalnya itu, setelah beberapa tahun gabung dengan ISIS di Suriah.
 
Alasan dia ingin pulang adalah untuk merawat anaknya. Anak pertama dan kedua Shamima meninggal di wilayah ISIS karena sakit dan kekurangan gizi. Oleh karena itu, Shamima yang saat itu sedang menunggu kelahiran anak ketiganya ingin membesarkan anaknya di Inggris, dengan sistem perawatan kesehatan yang baik.
 
Namun keinginan Shamima itu tidak akan tewujud. Sebagaimana diberitakan The Times, Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid, menegaskan kalau dirinya tidak akan ragu mencegah warga yang telah mendukung organisasi teroris untuk kembali ke Inggris. Bagi Javid, mereka yang meninggalkan Inggris dan bergabung dengan ISIS adalah orang yang dipenuhi kebencian terhadap negerinya sendiri.

Pemerintah Inggris juga melarang anak-anak penduduk mereka yang menjadi anggota ISIS untuk kembali pulang. Dilaporkan, saat ini ada sekitar 30 anak-anak warga Inggris yang ditahan bersama dengan orang tua mereka di kamp-kamp utara Suriah.

Mereka ditahan setelah markas terakhir ISIS di Suriah berhasil ditalkukkan Pasukan Koalisi Kurdi dan Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Dilansir laman Independent, Selasa (13/8), mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt dan Menteri Pembangunan Internasional, Penny Mordaunt, bekerja sama untuk membahas kemungkinan anak-anak tersebut pulang ke Inggris. 

Namun, rencana itu ditentang Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid. Menurutnya, kalau seandainya anak-anak tersebut dibawa pulang maka orang tua mereka akan memiliki alasan kuat untuk kembali ke Inggris. 

Berbeda sedikit dengan kebijakan Inggris yang tegas terhadap eks ISIS, pemerintah Australia pernah memulangkan delapan anak dari satu pasangan pejuang ISIS dari Suriah pada Juni lalu. Anak-anak tersebut kini berada di bawah perawatan otoritas Australia. Namun demikian, sama seperti yang dilakukan Perancis, Jerman, dan Inggris, Australia mencabut status kewarganegaraan warganya yang bergabung dengan ISIS dan menolak menerima mereka kembali.

Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, mengaku turut prihatin terhadap anak-anak yang lahir dari para pejuang asing ISIS. Meski demikian, dia menegaskan, Australia harus ‘menyadari ancaman’ yang dapat dilakukan sejumlah wanita dan anak-anak eks ISIS jika mereka kembali ke Australia. 

"Beberapa wanita telah dibawa pergi secara paksa oleh suami mereka ke Timur Tengah dalam keadaan yang mengerikan dan ada pula perempuan-perempuan yang memang bersedia pergi dan bergabung dengan ISIS secara sukarela dan itu merupakan ancaman yang sama bagi Australia," kata Dutton pada Rabu (24/7), diberitakan CNN.

Esk ISIS asal Rusia memiliki nasib yang cukup beruntung. Berbeda dengan negara-negara Barat lainnya, Rusia memilih untuk memulangkan sebagian warganya dari Suriah, terutama perempuan dan anak-anak.

Zalina Gabibulayeva (38) adalah perempuan eks-ISIS asal Chechnya, Rusia yang diterima kembali negaranya. Ibu lima orang anak itu kini menjadi seorang pengajar di sebuah sekolah. Dia mengajarkan tentang bahaya ekstremisme.

Zalina juga menjelaskan kepada anak-anak didiknya bagaimana dia bisa terpikat hingga akhirnya bergabung dengan ISIS. “Kami berguna. Kami bisa menjelaskan kepada generasi muda tentang apa yang terjadi kepada kami, jadi mereka tidak membuat kesalahan yang sama seperti yang kami lakukan,” kata Zalina, diberitakan AFP, Jumat (9/8).
 
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah sebaiknya menerima kembali WNI eks ISIS atau menolak mereka untuk balik ke Indonesia? (Red: Muchlishon)