Internasional

Pernyataan Sikap PCINU Belanda atas Perjuangan Rakyat Kendeng

Kam, 23 Maret 2017 | 04:00 WIB

Bismillahirrahmanirrahim

Seperti banyak diketahui, Pemprov Jateng tetap berkeras memberikan izin lingkungan penambangan meski telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 99 PK/TUN/2016 Tahun 2016. Izin baru inilah yang diprotes oleh Almarhumah Ibu Patmi dkk karena jelas eksploitasi tambang akan merusak lingkungan tanah kampungnya.

Selain itu, putusan baru tentang izin lingkungan penambangan juga dinilai mengandung keharaman menurut keputusan Bahtsul Masail Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 tahun 2015 yang lalu. Keputusan Bahtsul Masail yang berasal dari pertanyaan ‘(1) bagaimana hukum melakukan eksploitasi kekayaan alam secara legal tetapi membahayakan lingkungan? Dan, (2) bagaimana hukum aparat pemerintah terkait memberi izin penambangan yang berdampak pada kerusakan alam?.’ Jawaban atas pertanyaan mendasar dan krusial diatas disepakati bahwa ‘(1) eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hukumnya adalah haram; dan (2) pemberian izin eksploitasi oleh aparat pemerintah yang berdampak pada kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki lagi maka hukumnya haram jika disengaja.’ 

PCINU Belanda menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Gubernur Jateng dengan menerbitkan kembali izin lingkungan penambangan pabrik semen di Kendeng (baca: SK Gubernur 660.1 Tahun 2007), tidaklah benar, baik dan tepat. 

PCINU Belanda juga memandang apa yang dilakukan oleh Ibu Patmi merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan alam merupakan sikap amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karenanya, PCINU Belanda menyampaikan rasa berkabung atas berpulangnya Ibu Patmi warga Kendeng, seorang yang berjihad yang berjuang menentang eksploitasi alam yang dilakukan oleh Korporasi Semen di Rembang. PCINU Belanda juga berpandangan bahwa izin baru (baca: SK Gubernur Jateng 660.1 Tahun 2017 tentang izin lingkungan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang Provinsi Jateng) telah menyeret Indonesia di ujung tanduk cara berhukum yang buruk. Izin ini jelas sudah memicu ketepurukan prinsip negara hukum yang makin kronis, nihilnya legitimasi sosial hak asasi mansia dan merobek-robek prinsip keadilan lingkungan. 

Pertama, kebijakan izin lingkungan penambangan yang baru telah mengkhianati prinsip negara hukum Indonesia. Lantang bunyi UUD 1945 bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum,’ namun perintah konsitusi ini dicampakan oleh cara berhukum Gubernur Jateng. Keluarnya kebijakan izin lingkungan penambangan yang baru, jelas membuktikan bahwa Gubernur tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung (baca: Putusan MA Nomor 99 PK/ TUN/ 2016). 

Syahdan, akal-akalan mentaati putusan MA, yang memerintahkan supaya mencabut izin lingkungan penambangan, Gubernur Jateng memang melakukannya dengan mencabut izin lingkungan yang lama (baca: SK Gubernur Jateng No 660.117 tahun 2012) melalui surat keputusan Gubernur sembari membuka sedikit peluang gelap (baca: SK Gubernur Nomor 660.1/4 tahun 2017) pada tanggal 16 Januari 2017. Dan, sebulan kemudian, publik pun kembali dibuatnya bersedih dengan keluarnya keputusan izin lingkungan penambangan (baca: SK Gubernur Jateng 660.1 Tahun 2017). 

Padahal majelis hakim dalam putusan MA memberikan pertimbangan hukum untuk melarang penambangan di Kendeng Rembang. Saat itu, hakim yakin betul bahwa daerah pegunungan Kendeng adalah daerah Cekungan Air Tanah (CAT) yang tidak boleh ditambang. Bahkan Majelis Hakim juga mencatat bahwa Kecamatan Gunem dan Kecamatan Bulu terbentang luas sumber mata air seluas 501 Ha. 

Selain itu juga, tidak terlihat adanya niat baik dan solusi kongkret untuk kebutuhan warga, utamanya problem kekurangan air bersih dan kebutuhan pertanian. 

Dengan tegas juga, hakim menyatakan bahwa sosialisasi pendirian pabrik hanyalah formalitas saja, sementara diujung sana, rakyat berkumpul melakukan aksi massa dengan Sikap Penolakan Warga Rembang tertanggal 10 Desember 2014 yang ditandatangi oleh 2.501 warga. Majelis hakim menilai ‘pesan-pesan yang diharapkan belum sampai kepada sebagian masyarakat, sehingga persepsi positif yang diciptakan Tergugat II (PT Semen Indonesia) belum terwujud.’ Putusan MA tidak dipahami secara utuh oleh Gubernur Jateng dalam menyusun kebijakan yang berkeadilan sosial. 

Dengan demikian, terbitnya izin lingkungan penambangan yang baru dalam dunia hukum adalah noda hitam dilembar kertas putih dunia hukum kita. Jelas perumus Indonesia negara hukum dulu yang duduk di panitia hukum dasar BPUPKI 1945, seperti: Soepomo, Soebardjo, Latuharhary, Sartono, dan Wachid Hasyim akan bersedih, menyaksikan konsep negara hukum dicabik-cabik, seperti ini!

Kedua, kebijakan izin lingkungan penambangan yang baru ini menodai penghormatan pada hak asasi manusia. Kebijakan ini melanggar hak atas kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1) setelah terbitnya SK Gubernur Jateng, hukum sepertinya dipermainkan. Sebuah mahkamah pengadilan yang berwibawa dengan kekuatan hukum yang mengikatnya dan final, dilangkahi dengan ‘kebijakan tipu-tipu.’ Kebijakan ini juga telah menabrak hak atas bebas dari perlakukan diskriminatif (Pasal 28I ayat 2). Harusnya pemerintah mengkreasikan ‘keadilan sosial,’ lantaran dengan terbitnya kebijakan ini, pemerintah dalam hal ini Gubernur Jateng malah membuahkan ‘keadilan korporasi.’ Gubernur Jateng telah berlaku diskriminatif dengan lebih memihak pada modal kapital ketimbang jeritan rakyatnya sendiri. Selain itu, kebijakan tersebut juga nyata-nyata membentur konsep hak untuk bertempat tinggal serta kehidupan yang layak (Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), jika saban hari rakyat dihantui bahaya dampak lingkungan pabrik semen. Saat warga Kendeng yang menolak pabrik Semen pun terus tak didengar suaranya, kehadirannya pun tidak diakui dalam proses penyusunan kebijakan yang harusnya partisipatif, maka sekali lagi mereka juga kehilangan ‘hak untuk diakui di hadapan hukum’ (Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights). 

Berdasarkan pertimbangan diatas maka PCINU Belanda menyatakan:

1. Bersimpati cukup mendalam terhadap perjuangan para warga Kendeng untuk mempertahankan kelestarian tanah kampungnya. Berjuang mulai dari mendirikan tenda perjuangan di Kendeng, mengajukan gugatan ke pengadilan, aksi dipasung semen jilid pertama, aksi payung di depan Gubernuran Jateng, sampai aksi dipasung semen jilid II. Kami juga memberikan dukungan sepenuhnya secara lahir dan batin terhadap perjuangan mereka; 

2. Menyampaikan duka terdalam kepada Bu Patmi, semoga khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kelapangan;

3. Menyayangkan sikap Gubernur Jateng yang telah melanggar putusan MA dan mempermainkan rakyatnya dengan menerbitkan kebijakan izin lingkungan yang baru; 

4. Mendorong supaya Presiden berani mengambil sikap tegas dalam membatalkan kebijakan izin lingkungan penambangan yang baru. Dan, mendorong keadilan kembali hadir diantara rakyat. 


Den Haag, 22 Maret 2017/24 Jumadi Tsani 1438H


Pengurus Tanfidziyah Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda

Fachrizal Afandi (Ketua)
Syahril Siddik (Wakil Ketua)