Internasional JURNAL DAI RAMADHAN

Tafakur Ramadhan di Macau

Rab, 14 Juni 2017 | 12:01 WIB

Ahad 11 Juni kemarin, sambil mengernyitkan dahi karena terik saya memakai topi hitam yang baru saja dibeli seharga 20 MOP (mata uang Macau) di toko Sheng Heng. Ini toko teramai dan termurah hasil survei pribadi menelusuri pertokoan.

Bisa dikatakan, Ahad adalah hari libur bagi mayoritas masyarakat di Macau. Bersama Ustad Muhandis dan Mbak Indah, saya mengunjungi salah satu spot sejarah Macau, yaitu The Ruins Of St. Paul's. Tempat itu ramai dikunjungi baik oleh turis lokal maupun mancanegara.

Di sebelah kiri gereja yang terbakar dan runtuh pada tahun 1835 itu terdapat patung Matteo Ricci. Matteo sendiri seorang pioner yang memperkenalkan Barat ke Tiongkok. Ia dikenal sebagai misionaris terhebat di Tiongkok. Yang menarik, busana pria kelahiran Italia itu justru pakaian khas Tiongkok. Hati saya bertanya-tanya, "Siapa orang ini? Mengapa ia yang orang Italia, mengenakan busana Tiongkok?”

Saya lalu termenung. Salah satu ajaran Islam yang banyak manfaatnya dan banyak diabaikan ialah bertafakur. Sebagaimana dikutip Ibnu Katsir ketika berbicara tentang tafsir Surat Ali Imran ayat 177, Al-Hasan Al-Basri berkata, “Bertafakur sejenak dinilai lebih baik daripada menghidupkan malam (dengan shalat malam, zikir, dan doa).”

Bertafakur bukan berarti sekadar berpikir tanpa arah. Sebab pikiran bisa menjadi cahaya yang menerangi kalbu. Pikiran juga bisa menjadikan segala hal sebagai pelajaran hidup. Pikiran laksana cermin yang mampu memperlihatkan kebaikan dan keburukan kita. Tapi pikiran tanpa disertai bimbingan wahyu bisa menjerumuskan seseorang dalam kehancuran dan kehinaan.

Objek pikiran ialah alam raya. Ia merupakan ayat-ayat Allah (kauniyah) yang mengundang para peneliti, pengkaji, ilmuwan atau ulama serta siapa pun yang hendak mengetahui rahasia, hikmah, serta segala macam pengetahuan perihal langit dan bumi. Dari sini Islam amat menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di era banjir informasi terutama melalui media sosial, pikiran seseorang bisa ikut terbawa arus bahkan terombang-ambing terbawa entah ke mana. Energi pikir habis oleh hal sepele bahkan tak jarang cenderung sia-sia. Orang kuat di zaman ini ialah yang bisa mengontrol pikirannya, tidak terjebak pada asyiknya bermedsos ria sehingga melalaikan dirinya.

Nabi bersabda, "Meninggalkan sesuatu yang tak bermanfaat merupakan salah satu tanda keislaman seseorang itu baik," (HR Al-Turmudzi dan Ibnu Majah).

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Al-Turmudzi, disebutkan yang mesti ditinggalkan ialah hal-hal yang haram, syubhat, makruh, bahkan hal yang mubah yang bukan menyangkut kebutuhan.

Saya teringat seorang guru berpesan, "Pikir selaras dengan zikir." Itu dilakukan agar segala macam pikiran dikaitkannya dengan Allah SWT. Di saat yang sama sesungguhnya kita juga sedang berzikir, sebab zikir ialah ingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun terbaring.

Sudah saatnya melalui Ramadhan kita melatih pikiran pada skala prioritas bukan standar popularitas, sehingga dengan bekal latihan ini bisa membawa orang Indonesia khususnya umat Islam menjadi bangsa yang unggul dan berakhlak mulia. Sudah sejauh manakah kita tertinggal?


*) Saepuloh, anggota Tim Inti Dakwah Internasional dan Media (TIDIM) LDNU yang ditugaskan ke Macau.