Internasional

Universitas Cambridge Teliti Muallaf Muslimah

Ahad, 22 September 2013 | 01:09 WIB

Jakarta, NU Online
Sebuah laporan terobosan meneliti pengalaman hampir 50 perempuan Inggris dengan melihat aspek umur, etnis, latar belakang dan keyakinan (termasuk penganut ateis) yang menjadi pemeluk Islam diluncurkan oleh Universitas Cambridge beberapa waktu lalu.
<>
Laporan yang dihasilkan oleh Centre of Islamic Studies (CIS) Cambridge ini bekerjasama dengan New Muslims Project, Markfield, menghasilkan temuan menarik tentang pengalaman menjadi pemeluk Islam perempuan Inggris pada abad 21.

Temuan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi bagi muallaf sendiri, umat Islam, dan komunitas Inggris secara umum. Laporan setebal 129 halaman ini juga menggarisbawahi adanya masalah sosial, emosional dan kadangkala masalah ekonomi. 

Pemimpin proyek dan direktur CIS Yasir Suleiman mengatakan “Tema yang selalu muncul dalam laporan adalah kebutuhan untuk peningkatan dukungan bagi para muallaf dan potensi yang mereka miliki agar menjadi kuat dan memiliki pengaruh transformatif pada komunitas Muslim dan masyarakat Inggris secara luas.

“Tema yang selalu berulang adalah penolakan secara negatif pada Muslim dan Islam di media Inggris dan apa peran dari komunitas muallaf yang bisa dilakukan dalam membantu memberi keseimbangan.”

Laporan itu berusaha menghilangkan kesalahpahaman dan kekeliruan muallaf perempuan.

Kunci dari penelitian ini adalah perhatian yang tidak proporsional terhadap sejumlah kasus, khususnya perempuan kulit putih yang berpindah menjadi Islam, baik oleh komunitas Muslim maupun non Muslim. 

Sementara itu, muallaf dari Afrika asal Karibia, meskipun merupakan kelompok etnis muallaf terbesar, seringkali diabaikan dan merasa diisolasi, baik oleh kelompok Muslim maupun non-Muslim. 

Suleiman mengatakan, “Muallaf kulit putih seringkali diperlakukan sebagai “piala” bagi Muslim dan sering dimunculkan dalam berbagai komunitas, termasuk di media. Kelompok asal Afrika-Karibia yang menjadi muallaf sebagian besar tak terlihat, tak ada selebrasi dan seringkali tidak diketahui. Mereka merasa seperti minoritas dalam minoritas dan ini harus diatasi. Saya menemukan, bagian ini yang paling sulit.”

Penelitian ini juga mengungkapkan adanya hubungan kompleks antara wanita yang berpindah agama menjadi Islam dan keluarga mereka, mulai dari pengasingan, ketidakpercayaan dan penolakan sampai dengan penerimaan penuh atas keyakinan mereka. Hal ini juga terkait dengan isu seksualitas dan gender, termasuk homoseksualitas, peran tradisional perempuan dan transjender.

Manajer proyek Shahla Suleiman mengatakan “Dengan mempertimbangkan munculnya stereotype dan besarnya gambaran negatif tentang Islam di media dan masyarakat secara umum, dan mempertimbangkan posisi wanita dalam Islam, kami ingin memahami isu paradoks bagaimana perempuan Barat dengan pendidikan tinggi dan sukses secara profesional menjadi Islam.” 

“Basis dari masuknya mereka dalam Islam adalah keyakinan dan spiritualitas –tetapi perpindahan ini juga fenomena sosial yang menjadi politis. Dalam hal ini, perpindahan agama menjadi perhatian siapa saja dalam komunitas.”

“Perdebatan ini baru dimulai dan kami menginginkan memiliki informasi hasil penelitian lebih banyak tentang perpindahan ke Islam yang secara langsung menarik perhatian publik. Perjuangan untuk masa depan yang lebih baik tergantung pada bagaimana mengatasi pengasingan dan perbedaan secara absolut yang didasarkan pada ketidaksukaan ideologis untuk multikulturalitas, bukan hanya multikulturalisme. Ketakutan pada imigran, Islam dan perpindahan agama mewakili prasangka, kekhawatiran, dan ketakutan ras.”

Perpindahan agama ini menimbulkan isu seperti hak-hak perempuan, etika berpakaian dengan isu penggunaan hijab yang didiskusikan dengan sengit. Pandangan umum diantara para muallaf adalah adaptasi bentuk pakaian Barat untuk mengakomodasi nilai-nilai kesopanan dan kesusilaan Islam.

Hak-hak perempuan juga menjadi isu politik dalam komunitas Muslim, sementara para peserta tidak dengan bulat mendukung konsep feminisme sebagaimana didefinisikan oleh Barat, kebutuhan untuk meningkatkan status wanita dalam komunitas Muslim sepenuhnya disadari. Upaya untuk merealisasikan hak-hak tersebut terbukti lebih sulit untuk dicapai. Para peserta sangat kritis terhadap konsep peradilan syariah yang beroperasi di Inggris, terkait adanya potensi yang merugikan hak perempuan. 

Laporan ini mengatakan, “Perpindahan agama ini menantang pandangan rasis yang digambarkan di media tentang Islam karena budaya dan warisan mereka secara intrinsik mencerminkan budaya Inggris.”

“Tetapi kami juga menemukan bahwa tidak seluruh muallaf diterima secara sosial sama di mata Muslim. Muallaf kulit putih diperlakukan lebih baik secara sosial daripada wanita asal Afrika. Juga terdapat persoalan hijab yang menjadi perhatian antara Muslim dan non-Muslim. Terdapat perbedaan antara memakai dengan sukarela dan diwajibkan memakainya, yang menempatkan muallaf dalam kontrol. Hijab merupakan sinyal kesopanan, tetapi tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan kecantikan.” (phsy.org/mukafi niam)
Foto: phsy.org