Dosis Hormon Kebahagiaan yang Membawa Kesehatan dalam Kajian Thibbun Nabawi
Selasa, 15 November 2022 | 20:30 WIB
Yuhansyah Nurfauzi
Kolomnis
Akhir-akhir ini sering tersiar kabar yang tidak nyaman dari acara-acara hiburan. Bermula dari gegap gempita dan kesenangan, situasi bisa berubah menjadi kepanikan dan mengancam jiwa. Surutnya pandemi membuat banyak orang ingin mencari keramaian di luar rumah. Namun, sayangnya ada prinsip-prinsip pengendalian emosi yang dilupakan ketika kerumunan terjadi di arena hiburan.
Berbagai risiko yang muncul di keramaian membuat semua pihak harus berhati-hati terhadap penyelenggaraan acara hiburan yang bersifat mengumpulkan massa. Kurangnya antisipasi terhadap keamanan, potensi munculnya kerusuhan massal, serta risiko lain yang terkait dengan faktor bangunan maupun lingkungan bisa menimbulkan berbagai dampak terhadap kesehatan.
Di sisi lain, Islam tidak melarang hiburan yang halal. Selain halal, kegembiraan yang ditunjukkan di acara hiburan juga tidak boleh berlebihan. Kegembiraan erat kaitannya dengan situasi emosi seseorang dan berpengaruh terhadap kesehatan. Kegembiraan yang muncul karena hiburan dapat memiliki titik jenuh sehingga pada suatu waktu akan sampai pada tahap kebosanan dan bisa berubah menjadi kesedihan.
Apabila kebahagiaan diekspresikan secara wajar dan halal, akan menjadi bentuk rasa syukur dan mendukung kesehatan. Namun, bila kegembiraan diluapkan berlebihan bisa berisiko buruk terhadap kesehatan. Apalagi, bila kegembiraan itu diluapkan secara emosional dan bersama-sama di dalam suatu keramaian maka bisa berisiko menimbulkan situasi yang tidak terkendali. Pada tahap inilah berbagai bahaya yang mengancam fisik, psikis, bahkan jiwa bisa muncul.
Al-Hafiz Adz-Dzahabi dalam Kitab Thibbun Nabawi menuliskan pembahasan khusus tentang rasa gembira:
“Mengenai rasa gembira, cirinya adalah memperkuat energi batin. Jika berlebih-lebihan, ia bisa membunuh orang dengan membuat nyawanya melayang. Telah dikatakan mengenai lebih dari satu orang bahwa si Fulan dan si Fulan mati karena kegembiraan yang kelewat batas,” (Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Thibbun-Nabawi, Dar Ihyail Ulum, Beirut, 1990: halaman 58-59)
Sungguh perilaku gembira yang melebihi batas seperti itu bisa mendatangkan kondisi yang sebaliknya, yaitu mengarah pada keegoisan. Segala sesuatu yang berlebihan biasanya akan melahirkan keburukan. Demikian pula dengan kegembiraan, yang salah satu efeknya bisa mempengaruhi ketidakseimbangan dua hormon penting di otak.
Di otak, terdapat dua hormon yang senantiasa berada dalam keseimbangan. Salah satu hormon yang mengatur kesenangan atau kegembiraan diwakili oleh serotonin. Jika kadar serotonin dalam otak seimbang, maka seseorang akan tenang. Namun, jika kadarnya terlalu rendah maka seseorang akan gelisah.
Uniknya, hormon serotonin tidak bekerja sendirian di otak. Untuk menciptakan keharmonisan perasaan, serotonin memiliki pasangan yang bernama endorfin. Endorfin ini berfungsi untuk mengatur kegembiraan. Keduanya merupakan pasangan sejati yang saling memahami dan melengkapi sehingga sangat serasi.
Ketika serotonin turun, kadar endorfin juga akan turun dan sebaliknya. Namun, hubungan di antara mereka tidak selalu stabil. Ketika yang satu kadarnya terlalu tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, akan muncul kondisi yang tidak seimbang.
Gembira yang berlebihan akan meningkatkan kadar endorfin sampai pada batas yang maksimal sehingga kadar serotonin dalam tubuh justru akan menjadi rendah. Di sinilah relevansi dari kutipan Al-Hafiz Adz-Dzahabi yang menyatakan bahwa kegembiraan yang berlebihan justru dapat berbahaya bagi nyawa seseorang.
Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan endorfin dan serotonin dari bahan baku yang sama. Ketika endorfin terlalu banyak diproduksi, bahan baku serotonin akan terserap habis. Efeknya pada satu sisi akan merasakan kegembiraan, tetapi setelah kegembiraan itu mencapai tahap maksimal, maka hormon penyeimbangnya tidak lagi diproduksi.
Apabila endorfin terlalu tinggi tetapi kekurangan serotonin, maka dapat muncul gejala depresi. Hasil penelitian Pilozzi dan timnya menunjukkan bahwa sudah sejak lama diketahui kadar endorfin yang tinggi ditemui pada pasien yang mengalami depresi (Pilozzi dkk, 2021, Roles of β-Endorfin in Stress, Behavior, Neuroinflammation, and Brain Energy Metabolism, International Journal of Molecular Science, MDPI, 22[1]:338).
Oleh karena itu, orang yang banyak menikmati hiburan hingga terlalu gembira suatu saat bisa berubah menjadi pribadi yang gelisah, tidak tenang, dan mengalami kegersangan hati. Ketika sudah gelisah, seseorang itu bisa menjadi paranoid atau memiliki rasa takut yang berlebihan maupun depresi. Lama-lama hatinya tidak lagi sensitif. Ketika orang lain mendapatkan kesusahan, dia tidak lagi peduli karena sibuk dengan kegelisahannya sendiri.
Dengan kata lain, orang yang semula terlalu gembira dapat berubah menjadi seorang yang egois karena serotoninnya rendah. Orang tersebut menjadi pribadi yang hanya mau memikirkan dirinya sendiri. Dia baru mau memikirkan orang lain bila orang tersebut bisa menguntungkan dirinya. Rangkaian sikap buruk ini terjadi karena seseorang terjebak dalam kegembiraan yang berlarut-larut (euphoria) yang melenakan (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher: 2015], halaman 334-335).
Berdasarkan kondisi di atas, egoisme bisa muncul di tengah keramaian hiburan. Tidak heran bila di sebuah tempat hiburan yang sedang mengalami kekacauan justru masih ada orang-orang yang nampaknya tidak peduli dan tetap bersenang-senang. Situasi emosional seperti inilah yang telah dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Upaya untuk menempatkan akal sehat di atas emosi akan mampu menghindarkan diri dari berbuat zalim karena memperturutkan hawa nafsu. Yang termasuk mengikuti hawa nafsu itu , di antaranya adalah meledakkan emosi tanpa berpikir terlebih dahulu. Mengikuti hawa nafsu sama dengan memperturutkan hal-hal yang membuat emosi tersulut dengan segera. Seseorang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan berpikir terlebih dahulu terhadap tindakannya.
Biasanya, situasi emosional semacam itu terjadi ketika seseorang terancam bahaya sehingga segera bereaksi tanpa sempat berpikir terlebih dahulu. Jadi ada semacam refleks seperti halnya ketika tersentuh api atau dikejar anjing, seseorang umumnya segera merespons tanpa berpikir terlebih dahulu, kecuali orang-orang yang telah sanggup melatih hawanya itu.
Di sisi lain, situasi emosional juga dapat muncul ketika ada ledakan kegembiraan membawa kepada kondisi histeris. Teriakan histeris ketika menemukan kesenangan merupakan contoh dari pelampiasan emosi itu. Acara yang mengaduk-aduk perasaan dan bahkan menyulut kegembiraan histeris pada massa sangat berisiko terhadap ledakan emosi ini.
Apabila kegembiraan berlebihan terjadi di tempat yang merupakan kumpulan banyak orang, maka dapat menjadi pemicu situasi rusuh di tengah keramaian. Akibatnya, orang-orang yang mengalami situasi tak terkendali justru dapat pingsan. Setelah kegembiraan terluapkan, masih ada dampak lain pada kesehatan otak yang mengintai yaitu depresi karena terlalu tingginya kadar hormon endorfin. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
3
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
4
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
5
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
6
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
Terkini
Lihat Semua